Pukul sembilan pagi di Pantai Barat Pangandaran, suasana baru mulai hidup. Para pedagang satu per satu membuka lapak. Di antara mereka, seorang pria dengan kaus oblong abu-abu dan celana training hitam sudah siap. Gerobak bakso cuanki dan minuman dinginnya tersusun rapi di pasir. Sandal jepitnya mengikuti gerakannya yang lincah. Dari sini, dari tepian ombak ini, rezeki dijemput setiap hari. Tapi bagaimana sebenarnya kisah di balik lapak-lapak sederhana itu?
Jejak Hidup yang Terungkap di Tepi Ombak
Angin sepoi-sepoi berhembus pelan. Langit cerah, matahari mulai terik. Di bawah payung besar, Bapak Andri bersedia bercerita. Perjalanannya ternyata tak cuma tentang bakso cuanki. Ia juga menjual minuman, menyewakan papan selancar, dan yang paling mendasar pernah lama mengarungi lautan sebagai nelayan.
“Pekerjaan utama saya mah pelaut,” katanya, suatu Kamis di akhir November.
Laut, baginya, punya dua wajah. Kadang memberi hasil melimpah, kadang membuatnya pulang dengan tangan kosong. Ketidakpastian itulah yang akhirnya mendorongnya mencari penghasilan lain yang lebih stabil. Ia pun mengurus izin, memulai usaha penyewaan papan selancar. Lalu, melihat pengunjung yang kebanyakan cuma duduk-duduk, timbul ide untuk menawarkan sesuatu yang bisa disantap. Maka, jadilah bakso cuanki dan aneka minuman di samping gerobaknya.
Sudah 15 tahun lebih ia menjalani ini, dibantu istri dan kakaknya. Ada ritme alami yang terjaga: saat musim kemarau tiba dan laut tenang, ia sering bergantian jaga lapak untuk melaut mencari ikan. Suhu laut yang hangat membuat ikan lebih mudah ditemukan. Begitu siklus hidupnya.
Dinamika yang Tak Pernah Padam
Hari-hari Pak Andri di pantai pen warna. Momen paling berkesan? Tentu akhir pekan dan hari libur. Saat itulah pantai ramai, dan penghasilan dari semua usahanya mengalir deras. Tapi bukan cuma uang. Yang ia senangi justru obrolan dengan pembeli. Cerita-cerita mereka, dari yang ringan sampai kisah hidup, membuat waktu di tepi pantai tak pernah membosankan.
Hubungan dengan pedagang lain juga unik. Mereka bercengkrama, ngobrol tentang cuaca atau hasil jualan hari ini. Lama-kelamaan, rasanya seperti keluarga besar. Tapi ya, namanya juga manusia. Persaingan dagang kadang bikin rasa iri menyelip, apalagi kalau lihat lapak sebelah lebih laris. Itu hal wajar.
“Ya begitu mah udah biasalah, nanti juga baikan lagi,” ujar Pak Andri sambil tertawa.
Artikel Terkait
Kisah Heroik Pedagang Buah di Tengah Duka Penembakan Sydney
BMKG Gencarkan Modifikasi Cuaca Hadapi Puncak Hujan dan Tiga Siklon di Awal 2026
Dilraba dan Arthur Chen Bersatu dalam Love Beyond the Grave, Kisah Cinta Guru Spiritual dan Jenderal Misterius
Mahasiswa UWKS Dijatuhi DO dan Ditangkap Polisi Usai Unggah Konten Rasis