Yang menarik, temuan psikologi modern ini punya gaungnya dalam tradisi Islam sejak lama. Konsep seperti ihsan, ta'awun, dan itsar bukan cuma soal etika sosial. Menurut Al-Ghazali, menolong sesama adalah jalan untuk menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs), mengurangi ego, dan menyembuhkan kegelisahan hati.
Bantuan yang diberikan bukan sekadar transaksi sosial. Ia memiliki dimensi transendental; menghubungkan si penolong dengan penderitaan sesama dan rahmat Allah. Itu sebabnya, efek psikologisnya terasa begitu mendalam. Sebagaimana diteliti Abu-Raiya & Pargament (2015), altruisme yang dilandasi spiritualitas memberi ketenangan batin yang unik, karena menyentuh dua dimensi sekaligus: ilahiah dan sosial. Bagi banyak mahasiswa Muslim, aksi untuk Sumatera ini adalah ibadah yang menyembuhkan.
Gerakan yang Terorganisir: Ilmu Berubah Jadi Aksi
Solidaritas ini tak melulu spontan dan emosional. Di lapangan, banyak gerakan yang justru digerakkan oleh kaum intelektual dan profesional. Ambil contoh inisiatif Dandiah Care. Mereka dengan cepat menggelar pelatihan Critical Incident Stress Management and Grief Counseling untuk relawan.
Tujuannya jelas: membekali mereka dengan kemampuan mendeteksi krisis psikologis dan memberikan pertolongan pertama. Ini ilmu yang diterapkan langsung.
Di kampus seperti UI, gerakan UI Peduli menggalang donasi untuk korban Semeru dan Sumatera. Narasinya kuat: mahasiswa sebagai calon intelektual harus mengubah ilmu jadi tindakan nyata.
Dukungan juga datang dari pihak korporasi. JNE, misalnya, meluncurkan program Gratis Ongkir untuk pengiriman bantuan ke Sumatera. Sementara lembaga filantropi seperti Human Initiative dan Yakesma mempermudah masyarakat menyalurkan bantuan melalui jalur yang aman. Intinya, ketika empati, ilmu, dan profesionalisme bersatu, solidaritas berubah dari sekadar simbol menjadi gerakan yang benar-benar menguatkan.
Mulai dari yang Kecil
Kamu tidak harus langsung terjun ke lokasi bencana untuk merasakan manfaatnya. Altruisme dalam bentuk kecil sehari-hari pun punya kekuatan. Cukup dengan mendengarkan curhat teman tanpa menghakimi, membantu mengerjakan tugas, atau sekadar mengajak makan yang sedang kesepian. Tindakan sederhana ini menciptakan rasa belonging perasaan bahwa kita punya tempat.
Secara psikologis, rasa terhubung ini adalah fondasi kesehatan mental jangka panjang. Dalam Islam, sekecil apapun kebaikan akan kembali pada pelakunya sebagai ketenangan hati. Di dunia yang sering terasa berantakan, menolong adalah cara kita merapikan hati sendiri.
Jadi, bencana di Sumatera memang meninggalkan luka yang butuh waktu lama untuk pulih. Tapi di tengah kegelapan itu, kita juga melihat cahaya cahaya dari ribuan tangan yang mengulurkan bantuan. Psikologi dan spiritualitas sepakat: kebaikan adalah energi penyembuhan yang bekerja dua arah.
Kalau kamu lagi merasa lelah, kesepian, atau cemas akan masa depan, coba lakukan satu hal kecil hari ini. Bantu seseorang. Tidak perlu yang besar, tidak perlu sampai viral. Sebuah gestur tulus bisa mengubah hari seseorang, dan tanpa disadari, mengubah hatimu juga. Kita seringkali menemukan kekuatan diri justru saat menemani orang lain melewati lukanya. Pada akhirnya, kita sembuh bukan dengan berjalan sendirian, tapi dengan berjalan bersama.
Artikel Terkait
PM Albanese Temui Pahlawan Bondi yang Berani Hadang Penembak
Pramuka DIY Bekali Generasi Z dan Alpha Hadapi Bencana
Dedi Mulyadi Bongkar Akar Masalah Kerusakan Lahan di Pangalengan
Dua Tahun Tanpa Gaji, Nasib 580 Pekerja Perkebunan di Sumsel Terkatung