Nah, di titik inilah tanggung jawab moral bekerja. Ia menjadi jembatan yang menyatukan empati dan kejujuran. Bertanggung jawab secara moral artinya siap menanggung konsekuensi. Mau berdiri di depan, baik saat menang maupun saat segala sesuatunya berantakan. Dari pengalaman, saya belajar satu hal: bertanggung jawab bukan berarti kita selalu benar. Justru, ia terlihat dari kesediaan untuk memperbaiki diri saat terbukti keliru. Sikap seperti inilah cermin kedewasaan sejati, sekaligus teladan yang paling powerful.
Kalau kita renungkan, banyak krisis kepemimpinan yang kita saksikan sebenarnya bukan karena sang pemimpin bodoh atau tidak mampu. Bukan. Masalahnya lebih mendasar: mereka kekurangan empati, mengabaikan kejujuran, dan lari dari tanggung jawab. Saat seorang pemimpin menutupi kesalahan, menyalahkan pihak lain, atau bersikap acuh pada penderitaan rakyatnya, ia sebenarnya sedang menggerogoti fondasi moral yang seharusnya ia pelihara. Hasilnya bisa ditebak: kehancuran.
Pada akhirnya, tanggung jawab moral adalah pilihan harian. Ia jarang dipuji, sering tak terlihat, dan kerap meminta pengorbanan. Tapi, lewat empati yang tulus dan kejujuran yang konsisten, ia mengubah kita. Menjadikan kita manusia yang lebih utuh bukan sekadar bos atau pejabat, tapi sesama manusia yang punya hati nurani.
Refleksi ini mengingatkan kita pada satu hal: perubahan besar tak selalu butuh revolusi sistem. Ia bisa dimulai dari kesadaran diri masing-masing. Ketika setiap orang mau memikul tanggung jawab moralnya, sekecil apa pun perannya, ruang hidup bersama kita perlahan akan berubah. Menjadi lebih adil. Lebih manusiawi. Dan, yang paling penting, lebih bermakna.
Soal tanggung jawab moral dalam kepemimpinan dan kehidupan ini, bukankah ia seperti cermin sepanjang zaman? Selalu ada, menunggu untuk dilihat dan dijalani.
(jaksat-ed-ata)
Artikel Terkait
Cinta Bangsa yang Cerdas: Ketulusan sebagai Etika, Bukan Sekadar Slogan
Ijazah Jokowi Akhirnya Terbuka di Polda, Klaim Hanya di Pengadilan Ternyata Tak Berlaku
Jurnalis Siap Tempur: Pelatihan Khusus untuk Liputan di Daerah Rawan
Di Tengah Medan Terjal, Pesan Warga Aceh untuk Mualem: Kami di Sini, Pak