Kebakaran Terra Drone: Perlawanan Oligarki, Penghilangan Jejak?
Oleh Edy Mulyadi
Jurnalis Senior
9 Desember 2025. Hari itu, Indonesia seperti mendapat dua tamparan sekaligus. Tamparan pertama datang dari Kapolri Sigit. Dia menerbitkan Perkap yang membolehkan polisi aktif menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga. Padahal, Mahkamah Konstitusi sudah melarang hal itu. Pilihannya sebenarnya cuma dua: pensiun dulu atau mundur. Tapi yang bikin gerah, Presiden Prabowo Subianto diam saja. Adem ayem. Tak ada koreksi, apalagi sanksi. Situasi ini bikin publik bertanya-tanya, siapa sih yang sebenarnya pegang kendali negeri ini?
Belum reda kegelisahan itu, tamparan kedua datang dari Cempaka Putih. Gedung Terra Drone melalap api. Dua puluh dua anak magang tewas mengenaskan. Mereka terjebak, menghirup karbon monoksida dari satu-satunya tangga darurat yang berubah jadi cerobong asap mematikan. Sang direktur utama kini sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kelalaian yang fatal.
Dua peristiwa ini terpisah, ya. Tapi dampaknya serupa. Seolah ada sesuatu yang lepas kendali. Bahkan lepas dari otoritas tertinggi sekalipun.
Di negeri kita, api tak pernah cuma membakar gedung. Api juga punya bakat membakar jejak. Dan kalau kita tilik sejarah, terlalu sering api muncul tepat saat jejak-jejak itu sangat dibutuhkan.
Nah, kasus Terra Drone ini bukan sekadar kebakaran ruko biasa. Ini bukan cuma soal baterai meledak atau standar K3 yang amburadul. Peristiwanya nyentuh urusan yang lebih dalam: persoalan agraria nasional. Terutama data pemetaan lahan. Di era sekarang, data semacam itu nilainya bisa melambung tinggi, jauh lebih mahal ketimbang bangunan fisiknya.
Soalnya, Terra Drone bukan usaha kecil. Mereka pegang data pemetaan presisi tinggi untuk jutaan hektare lahan sawit, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Teknologi andalannya LiDAR, pemindaian laser dari udara yang bisa menembus kanopi pohon, baca kontur tanah, sampai hitung kepadatan vegetasi. Bahkan bisa tebak umur tanaman. Berbeda dengan citra satelit biasa yang bisa diklaim sebagai bayangan awan, data LiDAR ini nyaris mustahil dibohongi.
Senjata itu Bernama Poligon
Tapi inti masalahnya bukan cuma teknologi canggihnya. Yang jadi senjata sesungguhnya adalah poligon. Istilahnya teknis, tapi dampaknya politis dan ekonomis luar biasa. Poligon itu batas lahan dalam peta digital. Garis hukum yang menentukan sah atau ilegalnya sebuah kebun.
Sekarang, negara nggak lagi pakai patokan peta kertas buram. Yang diuji adalah poligon: titik koordinat setiap sudut lahan. Luas pastinya, posisinya terhadap hutan, sungai, atau tanah adat. Coba geser garis poligon beberapa meter saja, akibatnya bisa ratusan hektare. Nilainya? Ratusan miliar rupiah. Dari situlah bisa ketahuan apakah HGU dilebihkan, kebun masuk kawasan hutan, atau ada plasma fiktif.
Makanya, dalam kejahatan agraria, poligon adalah musuh utama. Senjata pembuktian yang paling ditakuti. Hilangnya poligon sering kali jadi "keberuntungan" bagi pihak tertentu.
Artikel Terkait
Gen Z Terjebak: Pinjol dan Judol Mengintai di Balik Layar
Sepekan Penuh Gejolak di Kalbar: Dari Rob, Tragedi, hingga Ular Numpang di Kap Mobil
Penjajah Baru: Merdeka 80 Tahun, Alam Malah Lebih Terkoyak
Video Viral Pungli, Satpol PP Surabaya Proses Sanksi Berat untuk Oknum Petugas