JAKARTA – Lagi-lagi, pernyataan pejabat yang mendorong masyarakat untuk memviralkan bencana memantik perdebatan. Setiap kali banjir, longsor, atau gempa terjadi, instruksi serupa kerap muncul. Alasan yang dikemukakan biasanya sama: butuh perhatian luas agar bantuan cepat mengalir. Tapi, benarkah negara pantas meminta warganya menyebarluaskan musibah? Atau justru langkah ini malah memperkeruh respons terhadap bencana itu sendiri?
Di sisi lain, seruan "viralkan dulu" ini seolah mengungkap kegagalan dalam komunikasi darurat. Idealnya, negara hadir sebagai sumber informasi utama yang cepat dan terpercaya. Ketika justru masyarakat yang diminta menyebarkan konten, tercium sinyal bahwa sistem peringatan dini dan jalur komunikasi resmi belum berjalan baik. Warga pun jadi menanggung beban informasi, sementara instansi pemerintah terlihat hanya bereaksi setelah isu ramai di media sosial.
Arthur W. Page Center pernah menegaskan, komunikasi efektif di awal krisis tak boleh diserahkan pada narasi publik. Emosi sering kali mengalahkan akurasi. Nah, teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT) juga menjelaskan, dalam krisis yang menyangkut keselamatan, pemerintah harus mengambil peran memberi informasi instruktif dan penyesuaian. Meminta warga "memviralkan bencana" justru memindahkan tanggung jawab itu kepada pihak yang paling rentan salah: publik biasa yang tak punya kapasitas verifikasi.
Akibatnya bisa runyam. Penelitian dalam Journal of Public Relations Research menunjukkan, krisis tanpa komunikasi awal yang kuat berpotensi berkembang jadi "crisis intensification". Opini publik bergerak lebih cepat ketimbang fakta. Video, foto, dan potongan informasi tersebar tanpa pengecekan. Yang beredar bukan cuma kondisi sebenarnya, tapi juga asumsi dan rumor. Reputasi pemerintah pun rusak dianggap lamban merespons, padahal tim di lapangan mungkin sedang bekerja keras.
Lalu ada persoalan etis yang tak kalah pelik. Bencana bukan konten, dan korban bukan objek eksposur. Mereka manusia yang kehilangan rumah, keluarga, rasa aman. Meminta publik memviralkan tragedi ini terkesan mengubah penderitaan jadi bahan kampanye solidaritas digital. Banyak warga akhirnya memotret korban tanpa izin, menyebarkan wajah-wajah trauma, bahkan membangun narasi dramatis demi perhatian. Studi dalam Disaster Studies Review mencatat, dokumentasi tanpa kendali bisa meningkatkan trauma sekunder pada penyintas. Saat viralitas jadi tujuan, empati sering tergeser oleh keinginan untuk terlihat peduli.
Risiko misinformasi juga mengintai. Dalam situasi darurat, info yang keliru bisa picu kepanikan dan hambat evakuasi. Seruan memviralkan sesuatu mendorong orang membagikan konten secepatnya, sementara verifikasi butuh waktu. Tak jarang, beredar info lokasi yang salah, angka korban meleset, atau video lama yang disebar ulang. Pemerintah pun kerja dua kali: tangani bencana fisik sekaligus bencana informasi. Komunikasi yang buruk justru memperlambat respons di lapangan.
Artikel Terkait
Manado Keluhkan Antrean Panjang BBM Subsidi Jelang Natal 2025
Fosil Homo Erectus Manusia Jawa Akhirnya Pulang Setelah 135 Tahun di Belanda
Mahasiswa Terjerat Budaya Sibuk: Perlukah Kita Berhenti Mengejar Produktivitas Tanpa Henti?
Ngopi dan Gorengan Disorot, Denny Sindir Logika Deforestasi Hasan Nasbi