Bayi Dua Hari Bertaruh Nyawa di Tengah Amukan Banjir Aceh Tamiang

- Kamis, 11 Desember 2025 | 15:06 WIB
Bayi Dua Hari Bertaruh Nyawa di Tengah Amukan Banjir Aceh Tamiang

Angin panas masih berembus dari arah sungai, membawa aroma lumpur kering yang menusuk. Debu beterbangan, menyelip ke dalam tenda-tenda darurat dan paru-paru para pengungsi yang sudah beberapa hari bertahan di sini.

Lumpur setengah kering masih menempel di mana-mana, di trotoar, di dinding. Kayu gelondongan berserakan di bawah jembatan, sisa amukan banjir dan tanah longsor yang menggulung Aceh Tamiang. Jejak air bah itu ibarat luka yang belum sempat dibersihkan, masih basah dan perih.

Di Desa Sukajadi, Kamis lalu, deretan tenda putih dan oranye memanjang di sisi jembatan Kuala Simpang. Aktivitas pengungsi tampak dari luar: ada yang keluar mencari udara, ada yang cuma duduk termenung. Truk-truk air bersih berjajar, memberikan sedikit kepastian. Beberapa meter dari sana, asap mengepul dari dapur umum TNI dan Polri.

Tapi cerita sebenarnya seringkali tersembunyi. Tidak semua duka terpampang di permukaan.

Di sebuah tenda, seorang ibu muda bernama Sri Novita Rizki duduk memeluk bayinya. Wajahnya pucat. Tangannya sesekali menepuk-nepuk tubuh mungil yang meringkuk di lengannya, Aira Zahra Khalila Nasution.

"Iya, pas banjir. Dia lahir tanggal 18, 18 bulan 1," ujar Sri.

Bayinya baru lahir dua hari sebelum air menerjang rumah mereka. Dalam kondisi nifas, Sri harus mengangkat bayi itu setinggi-tingginya, berjuang keluar dari rumah yang airnya sudah setinggi lutut.

"Gimana ya, kan bawa bayi. Bisa menyelamatkan bayi aja lah, bisa menyelamatkan semuanya," katanya, suaranya lirih.

Perjuangan mereka tak berhenti di situ. Untuk beberapa hari awal, mereka terisolasi. Tak ada bantuan yang sampai. Susu formula tak ada, air bersih pun langka. Dalam keputusasaan, Sri terpaksa memberi anaknya air tajin.

"Enggak ada air susu. "Netein" gak ada, "netelah" dia kasih air tajin karena gak ada susu. Karena enggak ada susu, enggak ada yang minum," jelasnya.

Suaminya terjebak, tak bisa pergi mencari pertolongan. Akhirnya, mereka mengungsi ke sebuah ruko di dekat kantor bupati, tempat yang lebih tinggi. Tapi situasinya tak kalah mencemaskan.


Halaman:

Komentar