Di tengah hamparan hijau yang legendaris di Jatiluwih, Tabanan, sebuah pemandangan tak biasa muncul Kamis lalu. Para petani memasang lembaran seng dan plastik hitam, membentang hingga 20 meter, tepat di atas sawah mereka sendiri. Aksi ini bukan tanpa sebab. Ini adalah bentuk protes, sebuah respons keras setelah 13 restoran milik warga tiba-tiba disegel oleh aparat.
Padahal, garis melengkung sawah berundak di Jatiluwih itu adalah mahakarya tangan mereka. Pemandangan inilah yang selama ini memikat ribuan wisatawan, baik lokal maupun asing. Bahkan, sistem subak di sini diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia sejak 2012. Sayangnya, status bergengsi itu kini justru menjadi sumber sengketa.
Agus Pamuji Wardana, pengelola Restoran Gong Jatiluwih yang juga mewakili petani, menjelaskan dengan nada kesal. Pemasangan terpal hitam itu sengaja untuk mengganggu pemandangan.
"Selama ini kan yang dinikmati pemandangannya. Mereka ingin mengganggu pemandangannya," ujarnya di Kantor Satpol PP Bali, Senin (8/12).
Baginya, penyegelan yang dilakukan Pansus TRAP DPRD Bali dan Satpol PP terasa sepihak. Mereka datang tanpa surat pemberitahuan resmi. Alasan utamanya, kawasan ini masuk zona hijau dan merupakan warisan dunia, sehingga pembangunan dilarang. Tapi, menurut Agus, banyak petani yang puluhan tahun hidup di sana justru tak pernah tahu soal status zona hijau itu.
"Pemerintah menganggap bahwa itu adalah warisan budaya dunia. Sebenarnya yang merusak karena ada daerah pariwisata ini," katanya.
Logikanya sederhana. Karena kawasan ini ramai dikunjungi, maka butuh penunjang seperti restoran. "Kalau dianggap usaha petani merusak lingkungan, lebih baik pariwisatanya nggak ada di Jatiluwih."
Faktanya, kunjungan wisatawan ke Jatiluwih bisa mencapai lebih dari seribu orang per hari. Namun, Agus menyoroti satu hal menarik. Kebanyakan dari mereka datang untuk menikmati keindahan alam, bukan karena label UNESCO.
"Mostly mereka tahu pemandangannya bagus, baru kita kasih tahu ada label UNESCO," sambungnya.
Ia berharap ada solusi yang adil. Tidak semua restoran dibangun sembarangan. Restorannya sendiri, Gong Jatiluwih, dibangun dengan konsep ramah lingkungan, berbahan bambu layaknya joglo. Para petani ini hanya ingin mengais rezeki dari lahan sendiri, sekaligus mempertahankan pemandangan yang justru menjadi daya tarik utama. Mereka pun taat bayar pajak.
Artikel Terkait
Tabungan Haji Selamat dari Kubangan Lumpur, Harapan Kembali Bersemi
Jet Tempur Pakistan Beri Kehormatan, Prabowo Disambut Hangat di Islamabad
Dari Dapur Rumah ke Ribuan Porsi: Kisah Maya dan Program Makan Bergizi
Korban Tewas Banjir Bandang Sumatera Hampir Seribu, 298 Masih Hilang