Lalu yang ketiga, rantai pasok akan memendek dan mengutamakan basis lokal. Pelajaran dari berbagai krisis global memang keras: ketergantungan pada rantai pasok panjang membuat kita rentan. Ke depan, produksi akan lebih terdistribusi berdasarkan wilayah, pengolahan dilakukan dekat sumber bahan baku, dengan UMKM lokal sebagai tulang punggung.
"Dalam hal ini, SMK harus menjadi simpul penting," serunya.
Namun begitu, ada tantangan serius yang mengintip: regenerasi. Ini poin keempat. Sebagian besar pelaku pangan tradisional akan segera pensiun, sementara minat anak muda masih rendah. Stereotip bahwa bekerja di sektor pangan itu kuno dan susah kaya masih kuat bercokol.
"Generasi muda hanya akan tertarik apabila sektor pangan tampil modern. Ini harus menjadi perhatian kita bersama," ungkap Atip.
Ia lalu menyindir sebuah pandangan yang kerap terdengar. "Karena kan ada pandangan stereotip ya selama ini. Untuk sektor pangan, pertanian sangat tradisional sekali, sehingga doa orang tua itu semoga anaknya tidak menjadi petani katanya."
Kelima, pangan bernilai tinggi akan jadi bagian dari ketahanan nasional. Makanan olahan yang punya nilai tambah, pangan fungsional, produk sehat dengan standar global semua ini adalah masa depan. Dan di situlah peluang besar terbuka untuk para wirausaha muda lulusan SMK.
Menutup paparannya, Atip menekankan bahwa SMK pangan harus berubah total. Transformasi kompetensi, penguatan teknologi, pembelajaran berbasis proyek nyata, dan penyesuaian dengan potensi lokal adalah kuncinya.
"Tidak semua SMK harus sama," tuturnya. "SMK pangan harus tumbuh dari potensi lokal, komoditas unggulan daerah, dan kebutuhan nyata ekosistem setempat."
Artikel Terkait
Viral Kasus WO Ayu Puspita, Polisi Bantah Kabar Pelaku Sudah Dilepas
Balap Mobil Surya, Cara Seru Anak-Anak Bali Belajar Energi Bersih
Komisi II Ungkap 200 Aduan Tanah, 185 Tersangka Mafia Ditangkap
Bupati Aceh Selatan Diperiksa Usai Tinggalkan Wilayah Banjir untuk Umrah