Memang, Gedung Putih seringkali membungkus ulang strateginya dengan kemasan baru. Tapi jangan salah, intinya tetap sama: logika "AS Pertama" yang unilateral. Kemarahan yang meluas di Eropa ini menunjukkan satu hal: AS sedang mengubah hubungan sekutu menjadi semacam transaksi. Mereka menuntut lebih banyak tanggung jawab, tapi tanpa diimbangi rasa hormat dan ruang konsultasi yang setara.
Penyederhanaan berlebihan seperti ini bahaya. Ia tak cuma menggerogoti kepercayaan dalam hubungan transatlantik, tapi juga melemahkan kemampuan kolektif Barat dalam menghadapi tantangan bersama. Ketika sekutu hanya dilihat sebagai objek yang perlu "dikelola", bukan mitra kerja, justru tatanan internasional yang ingin dipertahankan itu sendiri yang jadi korban.
Yang menarik, laporan strategis ini hampir tak menyentuh isu-isu genting yang justru butuh kerja sama nyata. Perubahan iklim, kesehatan global, stabilitas ekonomi semuanya cuma disinggung sekilas. Fokusnya terlalu banyak tersedot ke persaingan geopolitik, seolah lupa bahwa tantangan global abad ini memerlukan kolaborasi, bukan konfrontasi.
Sebagai negara besar, seharusnya strategi keamanan nasional AS menunjukkan tanggung jawab terhadap tata kelola global. Tapi dokumen ini justru memancarkan sinyal berbahaya. Ia mendistorsi persaingan perkembangan yang wajar menjadi konfrontasi ideologis. Pola pikir begini jelas bakal memanaskan ketegangan internasional. Sikap "ingin ini, ingin itu, ingin semuanya" secara sepihak itu cuma memperlihatkan mentalitas hegemoninya. Ironisnya, AS sendiri yang mulai menggoyang sistem aliansi yang mereka bangun pasca Perang Dunia II, mendorong dunia ke arah tatanan multipolar yang lebih terpecah dan penuh gesekan.
Pada akhirnya, dalam dunia yang semakin multipolar ini, tak ada negara yang bisa meraih keamanan jangka panjang lewat unilateralisme atau logika hegemonik. Reaksi keras Eropa terhadap laporan ini sudah membuktikannya: bahkan sekutu lama pun sudah enggan lagi menerima dominasi AS tanpa syarat.
Keamanan nasional yang sejati datang dari saling menghormati, dialog setara, dan kerja sama yang menguntungkan semua pihak. Kalau AS tetap tak bisa mengesampingkan kesombongan dan pola pikir konfrontatif dalam dokumen-dokumen strategisnya, mereka bukan cuma akan menjauhkan sekutu. Mereka juga berisiko terisolasi sendiri dalam isu-isu global yang benar-benar penting. Dunia saat ini lebih membutuhkan negara besar yang bertanggung jawab dan mau bekerja sama, bukan "guru" yang terobsesi dengan khayalan hegemoni dan sibuk membagi dunia jadi kubu-kubu yang saling bermusuhan.
Artikel Terkait
Pernikahan Beda Agama Berujung di Ruang Sidang: Ketika Hukum Tak Bisa Menyamakan Status
Lebih dari Dua Meter, Lebih dari Prediksi: Kisah Pilu Korban Banjir Aceh Tamiang
Mahasiswa UNY Hadapi Sidang Perdana Terkait Pembakaran Tenda Polisi di Demo 2025
Pernikahan Beda Agama di Awal 2025, Berakhir di Ruang Sidang Berjubah Merah