Lima tahun berlalu, tapi luka itu belum juga kering. Kini, kasus Tragedi KM 50 yang merenggut nyawa enam anggota laskar FPI itu memasuki babak baru. Habib Rizieq Shihab, selaku Pembina Yayasan Markaz Syariah, mengumumkan langkah yang cukup mengejutkan: mereka telah membawa kasus ini ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag.
Pengumuman itu disampaikan Rizieq dalam sebuah acara haul yang disiarkan via YouTube, Ahad lalu.
"Kasus tragedi KM 50 sudah didaftarkan di Pengadilan Kriminal Internasional ICC pada bulan September lalu," ujarnya tegas. "Sudah dilaporkan ke Den Haag, sudah diregistrasi. Tinggal sekarang kita siapkan materinya."
Mantan ketua umum FPI itu menyebut, laporan investigasi soal dugaan pelanggaran HAM berat sudah rampung. Dokumen itu akan diterjemahkan ke dua bahasa sebelum diserahkan ke berbagai pihak di dalam negeri, mulai dari Presiden hingga lembaga legislatif.
Namun begitu, jalan di dalam negeri ternyata buntu. Rizieq mengaku sudah berusaha keras selama lima tahun terakhir untuk menggelar pengadilan HAM di Indonesia. Hasilnya? Nihil.
"Pintu-pintu itu tertutup," katanya, terdengar getir. "Jadi agak sulit, sehingga lima tahun kita jatuh bangun."
Keputusannya akhirnya bulat. Para pengacara dari Persaudaraan Islam memilih jalur internasional. "Kami tidak lagi berharap untuk gelar pengadilan HAM di Indonesia," tegas Rizieq. Meski begitu, ia masih menyisakan rasa hormat pada pemerintah dan proses hukum yang ada di tanah air.
Menurutnya, kasus ini bukan perkara pidana biasa. Ia bahkan membandingkannya dengan kasus Munir yang terkenal itu.
"Berbeda dengan kasus Munir yang diracuni di pesawat. Kasus Munir itu pelanggaran HAM berat karena sistemik, melibatkan badan negara, ada rencana-rencana yang dibuat dan pembunuhannya penuh nuansa politik," jelasnya.
Nah, Tragedi KM 50 dinilai memenuhi unsur yang sama: dilakukan secara masif, melibatkan instansi negara, dan sarat muatan politik. Enam santri yang tewas kala itu, menurut penuturannya, sedang bertugas menjaga keamanannya dari ancaman.
"Dua hari sebelum terjadi KM 50, ada tiga anggota BIN ditangkap oleh laskar di pesantren markas syariat Megamendung," ungkap Rizieq. "Di laptop yang mereka bawa ada agenda yang bernama operasi delima yang mentargetkan saya."
Laporan ke ICC itu sendiri mencantumkan nama 26 pejabat negara. Yang disebut pertama adalah Presiden Joko Widodo (periode 2014-2024).
Artikel Terkait
Bencana Sumatera: Sorotan dan Desakan Mundur Menteri di Tengah Isu Reshuffle
Bupati Aceh Selatan Minta Maaf Usai Umrah di Tengah Banjir
Wagub Kalbar Pimpin INKANAS, Bidik Karateka Muda ke Kancah Dunia
11 Hari Pasca-Bencana, Ribuan Warga Agam Masih Terjebak di Balik Runtuhan