Banjir Bandang Sumatera: Bencana Alam atau Kejahatan Terstruktur?

- Minggu, 07 Desember 2025 | 09:50 WIB
Banjir Bandang Sumatera: Bencana Alam atau Kejahatan Terstruktur?

Mungkin satu langkah maksimal yang bisa diambil Presiden Prabowo sekarang adalah memanfaatkan tragedi nasional ini untuk melakukan reshuffle kabinet. Menteri Kehutanan dan Menteri ESDM adalah yang paling langsung bertanggung jawab. Setidaknya, mereka dianggap lalai mengawasi kerusakan yang sudah kritis ini. Baru ketahuan setelah segalanya ambruk.

Tapi, apakah hanya menteri yang sekarang? Tentu tidak. Para mantan menteri, baik dari Kehutanan maupun ESDM, layak diperiksa. Soalnya, pembalakan liar ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Begitu juga dengan kepala daerah yang memberi “karpet merah” bagi perusak hutan. Mereka semua pantas kena sanksi politik.

Pesan politiknya jelas: jangan sembrono memakai kewenangan. Penegakan hukum yang baik akan menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih.

Kembali ke pertanyaan tadi: apakah negara akan mengejar para komplotan itu? Jangan terlalu berharap. Di sinilah peran rakyat. Korban keganasan alam akibat ulah para pembalak masif itu punya hak untuk menunjukkan keberanian. Ratusan nyawa melayang, jutaan orang menderita. Kerugian material mencapai miliaran, bahkan triliunan. Sementara para pemilik konsesi mungkin sedang bersantai di Singapura. Situasi seperti ini bikin geram. Maka, wajar jika muncul tuntutan balas yang setimpal.

Ada dua opsi yang mungkin. Pertama, hukum badan: nyawa dibalas nyawa. Keluarga korban bisa menuntut hal itu. Kedua, gugatan perdata besar-besaran. Para korban menuntut ganti rugi material dan immaterial yang harus ditanggung pengusaha, bukan pemerintah. Ini soal keadilan bisnis. Kalau pemerintah yang bayar, ujung-ujungnya juga dari rakyat, padahal rakyat sendiri yang jadi korban.

Makna penting dari dua model sanksi itu sebenarnya adalah pengereman. Agar ada efek jera. Siapa pun akan berpikir ulang sebelum mengeksploitasi sumber daya alam secara serampangan. Ini bukan soal main hakim sendiri, tapi lebih pada menciptakan kemanfaatan untuk masa depan.

Sayangnya, pemikiran tentang ganti rugi semacam ini belum ada dalam sistem hukum kita. Karena itu, sudah waktunya UU Kehutanan dan UU Minerba direvisi. Rakyat perlu diberi payung hukum untuk menentukan sikap, mungkin berdasarkan hukum adat atau prinsip kemanusiaan yang layak.

Pada akhirnya, banjir bandang di Sumatera ini harus jadi bahan perenungan dan terobosan holistik. Kita perlu menghormati sesama manusia dan hubungan kita dengan lingkungan. Juga hubungan dengan Sang Pencipta. Sudah sejak lama kita diingatkan untuk menjadi khalifah yang menjaga bumi, bukan merusaknya.

Harmoni antar sesama makhluk adalah fondasi untuk membangun negara dan masyarakat yang sejahtera dan maju. Itu impian kita semua.

(Analis politik dan pembangunan)


Halaman:

Komentar