Oleh: Agus Wahid
Bencana yang melanda sebagian Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh belum lama ini sungguh mengerikan. Dahsyatnya melebihi tsunami Aceh 2004. Bayangkan, banjir bandang datang serentak, menyapu pemukiman, jalan, dan segala yang ada di hadapannya. Korban jiwa berjatuhan. Hewan dan keanekaragaman hayati pun ikut musnah. Rusaknya ekosistem ini, ya, kita belum tahu dampak jangka panjangnya seperti apa. Sungguh sebuah kehancuran yang luar biasa.
Kalau mau jujur, peristiwa ini bukan sekadar bencana alam biasa. Ini lebih mirip sebuah “pembantaian” yang terstruktur, sistematis, dan masif. Kata itu sengaja saya pakai. Faktanya berbicara: ratusan nyawa manusia, tua muda, laki-laki perempuan, lenyap begitu saja. Alam tak peduli. Satwa dan tumbuhan pun ikut digulung. Padahal, kita semua butuh air bersih dan oksigen dari ekosistem yang sehat untuk bisa bertahan hidup.
Dari kacamata tertentu, serangan “pasukan air” ini bukan cuma pembersihan etnis. Lebih dari itu. Ini adalah kejahatan. Kejahatan terhadap kemanusiaan, terhadap binatang, dan terhadap kosmos itu sendiri. Dua jenis kejahatan terakhir mungkin belum tercantum dalam kitab undang-undang mana pun. Tapi, mengabaikannya? Itu berbahaya. Alam akan membalas dengan caranya sendiri: panas ekstrem, krisis air berkepanjangan, dan sederet masalah lingkungan lain. Nanti kita lihat.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Setidaknya ada dua jalur sanksi hukum yang berat. Pertama, hukum positif di Indonesia. Kalau negara lamban, wajar saja jika rakyat menggugat ke Mahkamah Internasional. Sasaran hukumnya jelas: bukan alam yang mengamuk, melainkan para perancang krisis ekologi ini. Mereka yang punya konsesi dan mereka yang memberi izin.
Nah, ini pertanyaan besarnya: siapa dalangnya?
Kalau kita tilik gerakan pembalakan hutan, aktor utamanya cuma dua: pemegang izin tebang dan pihak yang mengeluarkan izin itu. Biasanya terkait alih fungsi hutan jadi kebun sawit atau tambang. Mustahil rakyat kecil bisa melakukan pembalakan seluas dan semasif itu. Pasti ada perusahaan besar yang terlibat. Dan ketika ditelusuri, biasanya mereka berkomplot dengan pemegang kebijakan.
Data Kementerian Kehutanan menyebutkan beberapa nama. Sinar Mas (Keluarga Wijaya) menguasai sekitar 4,4 juta hektar di Sumatera. APP (untuk pulp/HTI) sekitar 2,6 juta hektar. Royal Golden Eagle milik Sukanto Tanoto juga seluas 2,6 juta hektar. April sekitar 1,5 juta hektar. Ada juga RGE Group lain dan Salim Group melalui beberapa anak perusahaannya.
Yang menarik, izin-izin konsesi besar itu banyak dikeluarkan di era tertentu. Masa Menteri MS Kaban (2004-2009) misalnya, seluas 589 ribu hektar lebih. Di zaman Zulkifli Hasan, malah mencapai 1,6 juta hektar. Sementara di periode Siti Nurbaya, fokusnya lebih ke penertiban dan pencabutan izin bagi yang bermasalah, sehingga yang tersisa sekitar 600-800 hektar.
Dari data administratif dan lapangan, sebenarnya gampang sekali menunjuk siapa yang paling royal memberi izin. Pertanyaannya, beranikah negara bertindak tegas? Banyak yang meragukannya. Pemilik konsesi itu para cukong yang punya relasi kuat dengan kekuasaan. Bahkan jika presiden memberi kebebasan penuh pada penegak hukum, keraguan tetap ada. Soalnya, “angin” sogokan masih sering menerpa oknum-oknum aparat. Memprihatinkan, tapi itulah realita yang sulit dibantah.
Artikel Terkait
Prabowo Beri Tenggat Dua Pekan, Perbaikan Jembatan Rusak di Aceh Dipercepat
Prabowo Turun Langsung, Janji Listrik Aceh Kembali Malam Ini
Stella Christie Soroti Insentif dan Bukti Ilmiah dalam Pendidikan Indonesia
Kisah di Tenda Pengungsian: Prabowo dan Isak Tangis Warga Korban Banjir Aceh