Agama dan Etika Merawat Lingkungan
Islam, contohnya, punya konsep maqâṣid al-syarî‘ah. Dalam kerangka ini, menjaga nyawa, harta, dan lingkungan hidup adalah tujuan utama syariat. Jadi, saat bencana datang, respons kita bukan cuma pasrah. Justru itu saatnya kita bergerak aktif menjalankan perintah moral untuk menjaga bumi.
Pasca tsunami 2004, para ulama di Aceh sudah mengingatkan hal ini. Mereka bilang, alam itu cermin. Kalau kita merusaknya, ya dampaknya akan kembali ke kita. Dua puluh tahun kemudian, banjir besar di Sumatra seolah mengingatkan kita lagi: peringatan dulu sering diabaikan, sekarang alam yang ‘bicara’.
Solidaritas yang Tumbuh di Tengah Genangan
Meski begitu, peran agama dalam bencana bukan cuma memberi teguran. Ia juga jadi penopang emosional yang kuat saat manusia terpuruk. Banyak penelitian pasca-bencana Aceh membuktikan, keyakinan religius membantu penyintas melewati trauma. Doa, kebersamaan, dan rasa saling membantu ternyata mempercepat pemulihan batin.
Fenomena serupa terulang dalam banjir kali ini. Bantuan mengalir bukan cuma dari pemerintah, tapi juga dari pesantren, gereja, lembaga zakat, dan komunitas lintas iman. Sedekah dari warga biasa sering kali lebih tulus dan tepat sasaran.
Lihat saja di lapangan. Di mushala yang terendam, anak-anak tetap belajar mengaji di lantai yang lebih tinggi. Gereja yang selamat dari banjir, dengan sigap berubah jadi posko darurat. Inilah wajah religiusitas Indonesia yang sering tak terlihat: ia hidup dalam empati dan aksi nyata, bukan cuma doktrin.
Apa yang Bisa Kita Petik dari Bencana Ini?
Dari semua yang terjadi, banjir Sumatra ini harus jadi momentum untuk berubah. Kisah Air Bah dari masa lalu tak bisa lagi dibaca mentah-mentah. Ia harus jadi inspirasi moral: kalau kita abai pada ketidakadilan ekologis, alam akan merespons.
Dalam situasi seperti ini, agama bisa berperan tiga sekaligus. Pertama, memberi makna pada penderitaan bahwa di balik ujian ada kesempatan untuk jadi lebih baik. Kedua, menggerakkan solidaritas karena menolong sesama itu kewajiban semua orang, apa pun agamanya. Ketiga, membangun kesadaran ekologis bahwa merawat hutan dan sungai adalah bagian dari ibadah.
Kalau ketiga fungsi itu berjalan, banjir tak cuma tinggalkan luka. Ia juga akan tinggalkan pelajaran berharga. Air mungkin menggenangi rumah dan sawah, tapi ia takkan bisa menenggelamkan kesadaran manusia yang mau belajar dari kitab suci, dari sejarah, maupun dari penderitaan yang mereka alami sendiri.
Ketika air naik, nurani harus ikut menyala. Di situlah masa depan Sumatra dan kita semua benar-benar ditentukan.
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Universitas Bung Hatta, Padang, Sumbar.
Artikel Terkait
Kominfo Ingatkan Gen Z: Modus Penipuan Digital Makin Canggih, Waspada!
Lampung Tuntaskan Perbaikan Jalan 70 Km Lebih Cepat dari Jadwal
Delapan Belas Situs Yogya Berebut Status Cagar Budaya
Tanggul Muara Baru Retak, Solusi Permanen Baru Tersedia 2026