Agama bukan cuma soal teguran. Ia juga tempat kita bersandar, saat segalanya terasa runtuh.
Banjir Besar yang Mengguncang Sumatra
Hujan deras mengguyur tanpa ampun sejak akhir November. Awalnya, orang-orang menganggapnya sebagai hal biasa, ritme alam di penghujung tahun. Tapi siapa sangka? Hanya dalam beberapa hari, air meluap jauh melampaui batas. Sungai-sungai tak lagi sanggup menahan, tanggul pun ambrol. Lalu, datanglah banjir besar itu menyapu Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat. Rumah-rumah, kebun, jalan raya, semuanya terendam. Harapan pun ikut terkikis.
Di media sosial, beredar foto-foto pilu: warga dievakuasi dengan perahu karet dan rakit darurat. Sementara itu, para relawan nekat menyusuri genangan yang lebih mirip danau, memanggul karung beras dan sembako. Situasinya benar-benar kacau.
Di balik kecemasan akan kehilangan harta benda, muncul kegelisahan lain yang lebih dalam. Di mana posisi kita sebenarnya di hadapan amukan alam seperti ini? Ada apa di balik bencana besar yang melanda Sumatra kali ini?
Air Bah dalam Kitab Suci: Cerita yang Tak Pernah Usang
Sejak dulu, banjir selalu punya makna lebih dari sekadar fenomena alam. Ia adalah simbol, pertanda, sekaligus panggilan untuk introspeksi. Hampir semua agama dan tradisi punya kisahnya sendiri tentang air bah.
Dalam Al-Qur’an, misalnya, kisah Nabi Nuh bukan cuma cerita penyelamatan. Ia adalah gambaran nyata tentang keras kepalanya manusia. Surah Hud ayat 44 menggambarkan saat air diperintah surut dan bahtera berlabuh di Bukit Judi. Momen itu bukan akhir biasa, melainkan titik balik: kehancuran bagi kaum yang zalim, dan awal baru bagi umat manusia.
Bahkan lebih pedih lagi, Surah Al-Ankabut ayat 14 menyebut Nuh berdakwah hampir seribu tahun, tapi yang percaya hanya segelintir. Lalu ada Surah Ar-Rum ayat 41 yang terasa sangat relevan sekarang: kerusakan di darat dan laut itu ulah tangan manusia sendiri. Miris, ya?
Narasi serupa juga hidup dalam Alkitab, Epos Gilgamesh, hingga tradisi Hindu lewat Matsya Purana. Intinya, kisah banjir besar ini adalah cerita universal melintasi batas agama dan budaya.
Memaknai Bencana di Zaman Sekarang
Tapi bencana banjir di Aceh, Sumut, dan Sumbar tahun ini terjadi di era yang berbeda. Kita tak bisa lagi serta-merta menyimpulkan ini sebagai azab atau hukuman ilahi. Penafsiran seperti itu terlalu dangkal, bahkan berisiko. Kenapa? Karena kita jadi lupa pada faktor-faktor nyata penyebab bencana: penebangan hutan sembarangan, alih fungsi lahan yang tak terkendali, pembangunan serampangan, plus dampak perubahan iklim yang makin jadi.
Beberapa pemikir agama menawarkan sudut pandang yang lebih dewasa. Menurut mereka, bencana lebih tepat dilihat sebagai ujian atau peringatan. Ia adalah panggilan untuk memperbaiki diri dan merawat lingkungan, bukan dalih untuk saling menyalahkan.
Artikel Terkait
Kominfo Ingatkan Gen Z: Modus Penipuan Digital Makin Canggih, Waspada!
Lampung Tuntaskan Perbaikan Jalan 70 Km Lebih Cepat dari Jadwal
Delapan Belas Situs Yogya Berebut Status Cagar Budaya
Tanggul Muara Baru Retak, Solusi Permanen Baru Tersedia 2026