Kecerdasan yang Tersesat: Saat Akal Budi Jadi Alat Pembenaran

- Jumat, 05 Desember 2025 | 05:25 WIB
Kecerdasan yang Tersesat: Saat Akal Budi Jadi Alat Pembenaran

Sebuah refleksi tentang bagaimana akal budi seringkali dibelokkan dari tujuan mulianya.

Dalam kehidupan sehari-hari, baik di tingkat negara, perusahaan, atau bahkan dalam diri kita sendiri, ada sebuah ironi yang kerap tak terlihat. Kecerdasan, yang seharusnya menjadi penerang jalan, justru sering dijadikan tameng. Ia dipakai untuk membenarkan langkah-langkah yang sebenarnya keliru. Intelek dan retorika yang mumpuni, alih-alih menuntun pada kebenaran, malah dipelintir untuk melindungi keputusan yang bermasalah secara etika atau jauh dari visi jangka panjang. Tantangan terbesarnya sekarang bukan cuma soal jadi pintar. Lebih dari itu, kita harus berani meluruskan alibi-alibi cerdas yang kita ciptakan sendiri.

Dengan begitu, kemampuan intelektual bisa kembali ke fungsi aslinya: memuliakan tujuan, bukan memanipulasi proses.

Ambil contoh di dunia kepemimpinan. Kecerdasan strategis kerap disalahpahami. Banyak yang mengira itu adalah kemampuan untuk menyembunyikan motif terselubung atau memoles citra agar terlihat bersih. Padahal, strategi yang sejati justru berawal dari niat yang jernih.

Di sinilah sublimasi kecerdasan terjadi. Energi mental yang biasanya habis untuk menyusun pembenaran, dialihkan untuk mencipta solusi dan membangun integritas. Transparansi jadi kuncinya.

Lantas, apa yang memicu munculnya alibi-alibi ini? Sederhana: rasa takut. Takut dianggap salah, takut kalah, takut dihakimi publik. Ketakutan ini mendorong orang atau institusi mengambil jalan pintas: merangkai narasi yang terdengar rasional dan meyakinkan. Padahal, berstrategi justru membutuhkan keberanian untuk mengakui realitas, sekalipun itu tidak mengenakkan. Menurut sejumlah saksi, begitu alibi dibongkar dan diakui, ruang untuk berpikir kreatif dan berinovasi justru jadi lebih luas.

Kecerdasan strategis, dalam bentuknya yang paling ideal, adalah seni menyelaraskan visi jauh ke depan dengan langkah taktis, tanpa sekali-kali mengabaikan kompas moral. Ia menuntut kedewasaan untuk jujur saat analisis menunjukkan ada yang tidak beres. Punya data dan retorika yang memukau itu bagus, tapi itu semua tak boleh dipakai sebagai tirai untuk menutupi kenyataan. Hanya integritas yang bisa mencegah kecerdasan berubah jadi alat manipulasi belaka.


Halaman:

Komentar