Di sisi lain, ada dimensi lain yang sering terlupakan. Mensublimasi kecerdasan juga berarti mengubah naluri kompetitif menjadi energi kolaborasi. Orang pintar kadang terlalu percaya diri pada kalkulasi dirinya sendiri. Mereka lupa, kebijaksanaan kolektif sering kali memberikan gambaran yang lebih utuh dan kaya. Strategi yang matang lahir dari perpaduan beragam sudut pandang, bukan dari dominasi satu pemikiran.
Nah, dalam konteks yang lebih personal, meluruskan alibi berarti berperang melawan ego sendiri. Berhenti bersembunyi di balik anggapan “saya pintar, jadi pendapat saya pasti benar”. Ini tentang membuka diri pada koreksi, bahkan dari orang yang mungkin tidak sepintar kita secara akademis. Ukuran kecerdasan yang sesungguhnya bukan terletak pada kemampuan mempertahankan argumen sampai menang, melainkan pada kesediaan untuk memperbaiki diri. Saat kita berhenti ingin selalu membuktikan diri dan memilih untuk memahami lebih dalam, di situlah kecerdasan kita naik kelas.
Pada akhirnya, semua ini bermuara pada satu titik. Kecerdasan yang dibiarkan menjadi alat pembenaran ibarat pedang bermata dua. Bisa membangun, tapi juga bisa menghancurkan.
Namun begitu, kecerdasan yang telah disublimasi yang diarahkan untuk tujuan mulia, dipandu moral, dan ditenagai oleh kejujuran akan menjadi kekuatan strategis yang dahsyat. Ia mampu mengubah arah hidup seseorang, organisasi, bahkan bangsa.
Maka, sudah waktunya kita meluruskan alibi, menegakkan kecerdasan strategis yang sejati. Jadikan setiap langkah sebagai cerminan kematangan: berpikir jernih, bertindak tegas, dan punya tujuan yang tulus. Barulah kecerdasan itu akan menjadi cahaya, bukan bayangan yang menipu.
Aendra Medita, Jurnalis Senior
Artikel Terkait
Tanggul Jebol, Banjir Bandang Terjang Desa Mekar Rahayu dan Porak-Porandakan Penghidupan Warga
Kemhan Hapus Cuitan Lomba Tenis, Dikecam Tak Peka Saat Korban Banjir Berduka
Tawa di Tengah Lumpur: Ketika Korban Banjir Tertawa Mengusir Duka
Ustaz Abu Bakar Baasyir Serukan Penerapan Syariat Islam di Reuni 212