Mengapa Kita Masih Menyebutnya "Musibah Alam"?
Oleh: Makdang Edi
Sudah puluhan tahun. Setiap kali banjir besar atau tanah longsor menerjang, kita selalu punya satu kalimat andalan: "Ini musibah alam." Ungkapan itu terasa pasrah, bahkan religius. Seolah kita sedang menerima takdir yang tak bisa dielakkan.
Tapi belakangan, kalimat itu justru mulai memalukan. Ilmu pengetahuan, yang buktinya makin menumpuk, menunjukkan cerita yang sama sekali berbeda.
Rumah-rumah yang tenggelam, fasilitas umum yang hancur, nyawa-nyawa yang melayang itu semua bukan semata gejala alam. Itu adalah hasil dari sederet keputusan manusia. Pembukaan hutan yang tak terkendali, izin tambang yang makin meluas, alih fungsi hutan jadi sawit yang abai pada ekologi. Belum lagi pengabaian terhadap fungsi Daerah Aliran Sungai yang selama ribuan tahun menjaga keseimbangan air kita.
Datanya ada. Banyak sekali. Dan semakin sulit untuk diabaikan begitu saja.
Ambil contoh, penelitian dari UNEP dan IPB yang menyebut nilai ekonomi fungsi ekologis hutan mulai dari menyimpan air hingga menahan erosi bisa mencapai puluhan juta rupiah per hektare per tahun. Lalu, studi University of Massachusetts Amherst membuktikan bahwa mengubah hutan menjadi kebun sawit memicu lonjakan debit banjir dan merusak kualitas air bagi masyarakat di hilir. Bahkan, riset yang dimuat di jurnal MDPI memperlihatkan hilangnya 1% hutan alami dapat meningkatkan risiko longsor sebesar 1% di tingkat DAS.
Ilmu pengetahuan sudah bicara dengan sangat jelas. Banjir dan longsor yang kita hadapi sekarang ini bukan bencana alam murni. Ini adalah bencana ekologis buatan manusia.
Lalu, pertanyaan yang wajar muncul: kalau bencana ini hasil dari kebijakan dan kelalaian, bukankah masyarakat berhak menuntut pertanggungjawaban hukum?
Di sisi lain, negara punya kewajiban konstitusional yang tak bisa ditawar-tawar. Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sementara Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Intinya sederhana: negara bukan pemilik, melainkan pengelola amanah.
Nah, ketika hutan dibuka tanpa kontrol, izin diterbitkan tanpa analisis risiko yang matang, dan pengawasan terasa lemah, itu artinya negara gagal menjalankan tugasnya. Kegagalan yang berakibat kerugian bagi rakyat tentu membawa konsekuensi hukum. Ini bukan soal menyalahkan pemerintah, tapi menegaskan prinsip dasar demokrasi: setiap kekuasaan yang diberi amanah wajib bertanggung jawab jika amanah itu dilanggar.
Lalu bagaimana dengan korporasi? Mereka kerap bersembunyi di balik izin resmi, seolah itu membebaskan mereka dari tanggung jawab ekologis. Padahal, hukum lingkungan kita sudah cukup jelas.
Artikel Terkait
Balita Bogor Kritis Diduga Dianiaya Ayah Tiri, Kondisi Tubuh Remuk dan Berdarah
Rob Menggenangi Dua Desa di Subang, Ratusan Rumah Terendam
Korban Tewas Banjir Bandang Sumbar Tembus 194 Jiwa, Ratusan Masih Hilang
Jembatan Kewek Yogya Dapat Suntikan Rp19 Miliar, Perbaikan Total Dijanjikan 2026