Suara itu terdengar lantang dan penuh emosi. Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, tak lagi bicara soal mitigasi atau adaptasi. Di hadapan Abraham Samad dalam sebuah wawancara yang diunggah Selasa lalu, ia menuntut pertanggungjawaban yang konkret bahkan politis atas bencana banjir dan longsor mematikan di Sumatera.
"Tidak, kita harus cari siapa yang salah," tegas Iqbal. "Harus ada menteri yang mundur, harus ada menteri yang minta maaf."
Bagi Iqbal, ratusan nyawa yang melayang itu bukan sekadar korban cuaca ekstrem. Ini buah dari kegagalan kebijakan yang berlarut-larut. Dan ia punya nama-nama pejabat yang dianggap harus memikul beban itu.
Pertama, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni. Dialah yang dianggap gagal menjaga kawasan hutan di daerah aliran sungai (DAS) wilayah bencana. Lalu ada Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM, yang dinilai lalai mengawasi izin-izin pertambangan di dalam dan sekitar hutan. Tak ketinggalan, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, sebagai penerbit AMDAL, juga tak lepas dari sorotan.
"Apa sih susahnya, Pak?" ujar Iqbal dengan nada kesal. "Yang membuat deforestasi besar di Indonesia ini korporasi. Cari siapa yang salah, tangkap."
Yang membuatnya geram, semua ini sebenarnya sudah diramalkan. Menurut Iqbal, prediksi tentang risiko bencana di wilayah Batang Toru, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan sudah disuarakan sejak sepuluh tahun silam. Peringatan dari kelompok seperti Greenpeace kerap kali masuk, lalu hilang begitu saja.
"Bagian yang paling menyedihkan jadi aktivis lingkungan," ungkapnya, "adalah ketika yang dia prediksi menjadi kebenaran. Itu menyedihkan sekali karena kita selalu berpikir bencana itu pasti ada korban."
Lantas, apa akar masalahnya? Iqbal menyederhanakannya dalam dua poin. Faktor pertama jelas cuaca ekstrem, buah dari krisis iklim yang tak terkendali. Tapi ada faktor kedua yang lebih parah: kondisi ekologis yang sudah hancur lebur.
Data yang ia pegang menunjukkan fakta pilu. Hampir 30% kawasan hutan di DAS wilayah bencana itu telah hilang antara tahun 1990 hingga 2025.
"Ibaratnya kita sudah jatuh tertimpa tangga pula," jelasnya. "Hujan deras itu situasi krisis iklim yang sudah terprediksi, tapi kondisi ekologisnya memang sudah hancur."
Rusaknya hutan Indonesia bukan isapan jempol. World Population Review menempatkan negeri ini di peringkat kedua dunia dalam hal deforestasi, hanya kalah dari Brasil. Angkanya mencengangkan: 264.119 km² hutan lenyap, atau sekitar 22,28% dari total tutupan hijau kita. Di Sumatera, kerusakan masif itu terutama didorong oleh tiga hal: ekspansi perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan aktivitas pertambangan.
Artikel Terkait
Indonesia Galang Dukungan Global di WIPO untuk Reformasi Royalti Musik
Bencana atau Kesalahan? Saatnya Gugat Negara dan Korporasi Atas Banjir dan Longsor
KPRP Desak Kapolri Bebaskan Dua Aktivis Lingkungan yang Ditahan Polrestabes Semarang
Doktor dan Video Kontroversial: Ulangi Popularitas Lewat Konten Kosong?