Aktivis Lingkungan Tuntut Mundur Menteri, Sebut Banjir Sumatera Bukan Sekadar Bencana Alam

- Kamis, 04 Desember 2025 | 16:50 WIB
Aktivis Lingkungan Tuntut Mundur Menteri, Sebut Banjir Sumatera Bukan Sekadar Bencana Alam

Beberapa pejabat berkilah bahwa kayu-kayu yang hanyut dalam banjir adalah kayu lapuk atau tumbang alami. Iqbal menampik mentah-mentah klaim itu.

"Bukti pandangan mata menunjukkan itu adalah kayu-kayu yang sudah digergaji," tegasnya. "Pembalakan liar ini kan tidak pernah habis digergaji langsung diangkut keluar, pasti disimpan dulu. Itu bisa jadi dari satu bulan yang lalu, bahkan bertahun-tahun."

Di tengah situasi yang terasa buntu, Iqbal melihat sebuah celah hukum yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Ia mengungkap keputusan penting Mahkamah Internasional pada Juli 2025 lalu, yang menyatakan bahwa negara-negara yang gagal mengendalikan perubahan iklim bisa digugat di pengadilan internasional.

"Saya mendorong korban bencana yang secara langsung terdampak untuk melakukan penuntutan ke Mahkamah Internasional terhadap Indonesia," ujarnya. Menurutnya, warga di wilayah seperti Batang Toru, Sibolga, dan Lokseumawe punya legal standing yang kuat untuk menuntut pemerintah.

Namun, pemerintah bukan satu-satunya pihak yang harus duduk di kursi terdakwa. Iqbal dengan jelas menunjuk korporasi sebagai aktor utama perusakan. Ia menyebut nama-nama seperti tambang emas Agincourt di Batang Toru, PLTA Batang Toru, dan Toba Pulp Lestari (TPL).

"Yang membuat deforestasi besar di Indonesia ini korporasi, bukan rakyat yang mengambil kayu untuk masak," katanya. "Korporasi inilah yang harus ditangkap."

Lalu, apa solusi yang ia tawarkan? Langkahnya harus radikal. Iqbal mendesak pemerintah untuk segera meninjau ulang semua izin berbasis lahan yang pernah diterbitkan. Izin yang bermasalah harus dibatalkan. Kawasan perkebunan sawit di dalam hutan harus dikembalikan fungsinya. Dan tentu saja, pelaku korporasi yang melakukan deforestasi harus ditindak tegas.

"Ini yang kita kehilangan sekarang," katanya dengan nada prihatin, "orang-orang yang berani speak up ke pemerintah untuk bilang 'Review izin ini. Kalau ternyata ada tindakan yang salah, batalkan'."

Di akhir wawancara, Iqbal mengingatkan siapa sebenarnya korban utama dari semua kekacauan ini. Bukan mereka yang duduk di kantor ber-AC, melainkan rakyat kecil yang hidup di pesisir, di sekitar industri ekstraktif, dan di tepi hutan.

"Mereka korban dua kali," pungkasnya. "Sudah korban dari krisis iklim, tinggal di wilayah industri ekstraktif pula. Air mereka kotor, hidup dengan lumpur, wilayah tangkap semakin jauh. Kita punya hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah."

Banjir Sumatera mungkin akan surut. Lumpur akan dibersihkan. Tapi pertanyaan besarnya tetap menggantung: akankah ada yang benar-benar bertanggung jawab, atau kita hanya akan menunggu bencana berikutnya?


Halaman:

Komentar