Di tengah hiruk-pikuk dinamika internal Nahdlatul Ulama, Gus Yahya bersikukuh. Posisinya sebagai Ketua Umum PBNU, tegasnya, hanya bisa digeser lewat satu jalan: muktamar. Pernyataan ini ia sampaikan langsung di hadapan awak media di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Rabu lalu, sebagai bantahan atas sejumlah pernyataan yang beredar.
“Posisi saya sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Mandataris Muktamar ke-34 tahun 2021 di Lampung tetap tidak dapat diubah kecuali melalui Muktamar,” ujar Gus Yahya dengan nada lugas.
Ia melanjutkan, “Ini sangat jelas dan tanpa tafsir ganda di dalam sistem konstitusi dan regulasi NU.”
Menurutnya, segala keputusan yang diklaim lahir dari Rapat Harian Syuriyah sekitar dua pekan silam itu cacat hukum. Prosesnya dianggap sepihak dan melampaui kewenangan. “Pernyataan itu tidak dapat diterima dan batal demi hukum,” tegasnya. Kalau sampai diikuti, imbuhnya, bisa berisiko meruntuhkan konstruksi organisasi NU secara keseluruhan.
Status De Jure dan Upaya Islah
Di sisi lain, ada pernyataan lain yang justru memantik kontroversi lebih dalam. Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, menyebut status Gus Yahya sebagai Ketua Umum telah berakhir sejak 26 November 2025. Gus Yahya menampik hal itu.
“Secara de jure, berdasarkan AD/ART NU, saya tetap sebagai Ketua Umum PBNU dan tidak bisa diganti atau dimundurkan kecuali melalui forum Muktamar atau Muktamar Luar Biasa,” jelasnya.
Artikel Terkait
Mahfud MD Rindu NU Zaman Dulu: Dulu Patuh pada Ulama, Bukan Rebutan Proyek
Sosiolog UNJ Ciek Julyati Hisyam Tantang Jokowi Buktikan Keaslian Ijazah UGM
Korban Tewas Banjir Bandang Sumatera Tembus 770 Jiwa, Ratusan Masih Hilang
Golkar Kritik Cak Imin: Bencana Bukan Saatnya Minta Menteri Bertobat