Semangat Bandung di Era Baru: Mampukah Melawan Kolonialisme Gaya Baru?

- Senin, 01 Desember 2025 | 13:06 WIB
Semangat Bandung di Era Baru: Mampukah Melawan Kolonialisme Gaya Baru?

Jumat lalu (28/11), Jakarta menjadi tuan rumah sebuah diskusi yang cukup menarik. Forum Praksis seri ke-15 mengajak para peserta untuk menengok kembali ke tahun 1955, tepatnya ke Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Tujuannya sederhana tapi ambisius: membedah ulang warisan geopolitiknya dan melihat relevansinya bagi negara-negara di Dunia Selatan hari ini. Tema "Bandung 70" diusung, dengan harapan semangat kerja sama saling menguntungkan dari masa lalu bisa dihidupkan kembali.

Hendrajit, Direktur Global Future Institute (GFI), langsung menegaskan satu hal. Menurutnya, KAA 1955 bukanlah peristiwa yang muncul tiba-tiba dari ruang hampa.

"Konferensi tersebut merupakan kulminasi dari proses panjang," ujarnya dalam rilis pers yang diterima redaksi.

Ia menelusuri akarnya jauh ke belakang, hingga ke pertemuan Liga Anti-Kolonialisme dan Anti-Imperialisme di Belgia tahun 1927. Di situlah, katanya, benih-benih gagasan untuk mempertemukan negara terjajah mulai disemai.

"Pada kesempatan tersebut bertemulah tokoh-tokoh muda anti-kolonialisme seperti Bung Hatta dan Jawaharlal Nehru," kata Hendrajit.

Lompatan penting lainnya adalah Pertemuan Colombo 1954, yang awalnya hanya melibatkan Sri Lanka dan India. Gagasan itulah yang kemudian diambil dan diperluas cakupannya oleh Ali Sastroamidjojo, hingga akhirnya melahirkan KAA seperti yang kita kenal.

Namun begitu, Hendrajit merasa ada satu poin krusial dalam pidato Bung Karno yang kerap terlewat. Sang proklamator, katanya, dengan sengaja menyebut sejumlah wilayah dan pelabuhan strategis.

"Dengan menyebut beberapa wilayah dan pelabuhan penting, Bung Karno menunjukkan adanya 'garis-garis hidup imperialisme' yang perlu dicermati," ujarnya.

Pesan itu jelas. Selama jalur-jalur vital ekonomi dan militer itu masih dicengkeram negara bekas kolonial, maka kemerdekaan bangsa Asia-Afrika belum sepenuhnya utuh. Itu dulu. Sekarang, lanskapnya sudah berubah. Ekspansi pengaruh dilakukan dengan cara yang lebih halus, tapi tak kalah efektif.

"Sekarang ini, dengan menekankan pentingnya dimensi geopolitik, Tiongkok berhasil memperluas pengaruhnya di dunia tanpa harus secara fisik menjajah negara-negara yang dituju," katanya.

Caranya? Melalui dominasi ekonomi dan jaringan infrastruktur raksasa.


Halaman:

Komentar