Di sisi lain, keterbatasan kapasitas guru juga jadi kendala utama. Esti mendorong adanya pelatihan khusus agar para guru bisa bertindak cepat, profesional, dan paham betul cara menangani konflik antar siswa.
“Pencegahan dan penanganan bullying tidak mungkin berjalan jika kapasitas pelaksana di sekolah rendah. Guru perlu memiliki kompetensi konseling dan manajemen konflik, siswa harus teredukasi, orang tua aktif terlibat, dan sekolah wajib memiliki SOP yang hidup, bukan sekadar dokumen formalitas,”
jelasnya.
Harapannya, revisi RUU Sisdiknas nanti bisa mewajibkan setiap sekolah memiliki SOP anti-bullying yang jelas. Regulasi turunannya juga harus operasional, punya standar anggaran minimum, dan memungkinkan adanya audit implementasi.
“Tanpa aturan yang rinci agar dapat ada audit, upaya pemberantasan bullying hanya akan menjadi rumusan normatif tanpa kekuatan implementasi,”
tegasnya lagi.
Terakhir, Esti menegaskan bahwa tanggung jawab penanganan bullying tidak boleh dibebankan kepada sekolah semata. Perlu ada dukungan dari berbagai pihak eksternal: dinas kesehatan, dinas sosial, lembaga psikologi, aparat penegak hukum, hingga komunitas lokal.
“Anak-anak Indonesia berhak tumbuh dalam lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan, dan negara wajib memastikan itu terjadi bukan hanya melalui pasal, tetapi melalui implementasi nyata di setiap sekolah,”
pungkasnya.
Artikel Terkait
Gus Yahya Bongkar Kejanggalan Surat Pemecatan yang Beredar di Medsos
Gus Yahya Tegas: Polemik Pemberhentian Harus Berakhir, NU Tak Boleh Terganggu
Menteri Agama: Kini Giliran Timur Tengah yang Belajar Islam ke Indonesia
Badrodin Haiti Buka Suara soal Eks Polisi yang Bekerja di Korporasi Swasta