Tak cuma itu. Surat edaran itu juga secara eksplisit menyatakan bahwa Kiai Yahya tak lagi berhak memakai atribut maupun fasilitas yang melekat pada jabatan Ketum PBNU. Keputusan ini sekaligus mengakhiri perdebatan panjang yang sempat mengemuka di internal NU.
Dengan kekosongan ini, siapa yang kini memegang kendali?
Kepemimpinan organisasi beralih sepenuhnya ke tangan Rais Aam. Mekanisme ini sebenarnya sudah diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU. Rais Aam, sebagai pimpinan tertinggi, mengambil alih peran sambil menunggu kepastian lebih lanjut.
Meski demikian, jalan untuk berkeberatan tetap terbuka.
PBNU menyatakan bahwa Kiai Yahya masih bisa mengajukan banding melalui Majelis Tahkim. Prosesnya harus mengacu pada Peraturan Perkumpulan NU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelesaian Perselisihan Internal. Tapi, sampai berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi apakah langkah hukum itu akan ditempuh.
Surat keputusan resmi itu sendiri ditandatangani oleh dua orang kunci: Wakil Rais Aam KH Afifuddin Muhajir dan Katib KH Ahmad Tajul Mafatkhiroh. Mereka membubuhkan tanda tangan pada 25 November 2025, atau sehari sebelum status kekosongan jabatan diberlakukan.
Keputusan ini jelas bukan hal sepele. Diperkirakan, dampaknya akan terasa luas baik bagi dinamika internal PBNU maupun konstelasi kepemimpinan organisasi ke depan. Apalagi, NU tengah bersiap menghadapi sejumlah agenda besar kebangsaan dalam waktu dekat. Situasi ini pasti jadi perhatian banyak kalangan.
Artikel Terkait
Badrodin Haiti Buka Suara soal Eks Polisi yang Bekerja di Korporasi Swasta
Al Gore dan Gelombang Baru: Ketika Isu Iklim Menemukan Narator Global
Laju KRL Jogja-Solo Tembus 4,4 Juta Penumpang, Libur Akhir Tahun Picu Gelombang Baru
BNNP DIY Endus Laboratorium Rahasia Produksi Narkoba di Yogyakarta