Aksara yang Lahir dari Puncak Peradaban
Kalau sebelumnya kita sudah menyelami kisah Panji yang menyatukan ruang dan waktu lewat narasi cinta hingga diplomasi budaya, sekarang mari kita beralih ke dunia aksara. Bayangkan, jika Panji adalah jiwa yang menggerakkan peradaban, maka Aksara Kuadrat adalah caranya peradaban itu menuliskan diri. Mengabadikan pengetahuan, menetapkan arah. Keduanya lahir dari tanah yang sama, dari masyarakat yang memandang budaya bukan cuma kenangan, tapi fondasi untuk melangkah jauh ke depan.
Dalam seri Menelusuri Kediri, Menyulam Peradaban, kita sudah melihat bahwa kekuatan Kediri tidak cuma terletak pada arsitektur atau ekonomi. Ada sesuatu yang lebih dalam: cara berpikir masyarakatnya. Aksara bukan sekadar huruf. Ia adalah jendela untuk memahami dunia, mencatat pengalaman, mewariskan pengetahuan. Lewat aksara, kita bisa melihat siapa mereka dulu, bagaimana mereka berpikir, dan untuk apa mereka hidup.
Masyarakat Kediri abad ke-11 bukan cuma menciptakan tulisan yang indah. Mereka melahirkan aksara yang tegak, kokoh, geometris, terukur. Seolah hendak mengatakan: pikiran kami tertata, budaya kami punya struktur yang kuat, visi kami melampaui zaman. Di balik goresan kaku Aksara Kuadrat, tersimpan jejak peradaban visioner yang meyakini bahwa ilmu dan keberlanjutan adalah kunci masa depan.
Aksara Kuadrat muncul bukan dari masa gelap, melainkan dari puncak kejayaan politik, ekonomi, dan budaya Kerajaan Kediri sekitar abad ke-11 hingga 13 Masehi. Saat itu, Kediri sudah menjadi pusat literasi dan pengetahuan. Sementara kerajaan lain sibuk berperang mempertahankan wilayah, Kediri justru membangun masa depan lewat ilmu dan pemikiran.
Bentuknya yang kotak, tegak, dan bersudut bukan pilihan estetika belaka. Itu lahir dari kesadaran akan pentingnya kejelasan dan ketegasan. Tak ada garis yang ragu, tak ada lengkung yang gamang. Setiap pahatan adalah keputusan. Setiap sudut adalah sikap intelektual.
Di dalam aksara itu tersimpan keyakinan: peradaban besar dimulai dari kemampuan membaca dunia dan menuliskannya kembali dengan bahasa yang terstruktur. Makanya prasasti dari masa Kediri sangat detail, sistematis, berisi rumusan kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan.
Hari ini, ketika bangsa modern ramai bicara knowledge-based society, masyarakat Kediri sudah membuktikannya ribuan tahun lalu: peradaban bertahan bukan karena pedang, tapi karena kemampuan mengelola pengetahuan.
Refleksi atas fase gemilang ini mengajak kita melihat kembali bahwa literasi adalah fondasi kemajuan. Kediri mencapai masa keemasannya bukan cuma karena kekuatan politik, tapi karena warganya menghargai pengetahuan sebagai modal budaya.
Jejak Sejarah
Aksara Kuadrat dikenal sejak era Makuá¹awangsawarddhana, digunakan pada masa Raja Dharmawangsa Tguḥ. Tapi puncak kematangannya justru terjadi pada masa kerajaan Kediri. Ketika pusat pemerintahan pindah ke Daha, budaya literasi dan penulisan prasasti menjadi fondasi kokoh bagi negara dan administrasi pemerintahan.
Di masa Airlangga, aksara mulai ditulis dalam bentuk kotak tapi masih polos. Baru pada era Anak Wungsu, ornamen mulai menghiasi aksara. Itu menegaskan bahwa tulisan bukan cuma alat administratif, tapi juga seni dan simbol status intelektual.
Jejaknya masih bisa kita temukan di banyak situs. Prasasti Sirah Keting, Watu Gilang, dan pupuh-pupuh sastra kuno yang jadi rujukan ilmu bahasa dan sejarah kultur Jawa. Mereka bertahan meski badai kekuasaan silih berganti dari Singasari, Majapahit, kolonialisme, hingga Indonesia modern.
Dalam konteks kekinian, jejak sejarah aksara ini mengingatkan kita bahwa Kediri sebenarnya punya fondasi kuat untuk menjadi kota pendidikan dan pusat inovasi. Masa depan bukan soal menciptakan sesuatu dari nol, tapi meneruskan warisan yang sudah berdiri kokoh.
Ketegasan Garis dan Cara Berpikir Visioner
Garis tegas pada Aksara Kuadrat mencerminkan karakter masyarakat Kediri: berani ambil keputusan dan memandang masa depan dengan keyakinan. Mereka tak cuma hidup di zamannya, tapi membangun struktur berpikir yang memungkinkan generasi berikutnya melipatgandakan potensi.
Bentuk huruf yang kotak seolah berkata: hidup butuh kerangka, arah, batas, dan komitmen. Tak ada ruang untuk ragu-ragu. Aksara ini adalah cerminan keyakinan bahwa ketegasan adalah bagian dari kecerdasan.
Aksara kuadrat tak cuma merepresentasikan estetika visual, tapi juga membangun model kecerdasan kolektif masyarakat Kediri.
Kalau sekarang kita bicara visioning, planning, branding, atau smart city, sesungguhnya fondasinya sudah ada sejak aksara ini ditatah di batu seribu tahun silam. Pola pikir terstruktur untuk mewujudkan masa depan bersama.
Kediri modern yang sedang tumbuh dengan bandara internasional, digitalisasi layanan publik, dan pusat-pusat kreativitas adalah cermin dari cara berpikir itu: kokoh, berani, visioner.
Artikel Terkait
Rapat Syuriyah PBNU Soroti Langkah Gus Yahya Undang Pembicara Terafiliasi Zionis
Dibalik Kematian Dosen Untag, Terkuak Hubungan Rumit dengan Perwira Polisi
Paus Leo XIV Ingatkan Pelajar AS: Jandalkan Otak, Bukan AI, untuk PR
Kolonialisme Berjubah Baru: Menguak Jebakan Ketergantungan Pasca-Kemerdekaan