"Uang keluar, nggak ada ganti rugi. Ya dimakan sendiri," kata seorang driver sambil terkekek pahit.
Terkadang makanan itu dibagi-bagi ke sesama pengemudi di warung. Minimal kerugian berubah jadi makan malam bersama.
"Tapi tetep aja sakit. Uang kita yang keluar," ujarnya.
Fenomena ini bukan cuma terjadi di Bekasi. Di berbagai kota di Indonesia, nasib serupa menimpa para pengemudi. Mantan karyawan terampil, sarjana, bahkan staf perusahaan besar kini berebut rezeki di dunia digital.
Tidak ada kepastian penghasilan. Tidak ada jam kerja tetap. Tidak ada perlindungan. Semua bergantung pada algoritma yang tak kenal ampun.
Ironis memang. Di saat Indonesia bangga dengan pertumbuhan ekonomi digital, para penggeraknya justru terpuruk.
"Kalau begini terus, ojol bukan solusi lagi," kata S. "Tapi jeratan."
Senja mulai tiba. Lampu jalan menyala satu per satu. Di warung kecil itu, para pengemudi masih setia menunggu. Menanti notifikasi yang kadang datang, lebih sering pergi.
Tapi mereka tak menyerah. Masih datang ke warung itu, saling menyemangati, berbagi cerita dan tawa. Sebab di balik seragam mereka, ada keluarga yang menunggu. Anak yang perlu biaya sekolah. Dapur yang harus tetap berasap.
Hidup harus terus berjalan, meski dengan sepuluh ribu rupiah sekali order.
Begitulah kenyataan pahit para pengemudi ojek online di Bekasi Utara. Berjuang dari fajar hingga larut malam, menunggangi harapan yang makin menipis, tapi tetap bertahan demi esok yang lebih cerah.
Artikel Terkait
Persib Tumbangkan Dewa United 1-0 Meski Bertahan dengan 10 Pemain
Pilot Tewas dalam Insiden Mengerikan Saat Tejas India Jatuh di Dubai Air Show
Gen Z dan Luka di Balik Senyum Layar Kaca
Surat Ultimatum untuk Gus Yahya Bergulir, PBNU Dihantui Isu Pemberhentian Ketum