Dengan tatapan kosong, Nisman, seorang lansia, terduduk lesu di sudut posko pengungsian SDN Supiturang 4. Kamis siang itu, hawa kepedihan masih terasa menyergap. Rumahnya di Dusun Sumbersari, Pronojiwo, Lumajang, kini tak lebih dari tumpukan material vulkanik. Semuanya terjadi begitu cepat, sejak Rabu (19/11) lalu, ketika awan panas guguran dari Semeru memutus segala harapan.
Tak cuma rumah yang lenyap. Sumber nafkahnya, hewan-hewan ternak, juga turut tertimbun tanpa sisa. "Kena material, rumah habis. Kambing-kambing juga ikut," ujarnya lirih saat ditemui di posko. Suaranya parau, penuh kepasrahan.
Ia masih ingat betul detik-detik mengerikan sebelum bencana itu datang. Suara gemuruh yang tak biasa, keras dan menakutkan, memecah kesunyian. "Seperti abu bergemuruh," kenangnya. Saat itulah naluri menyelamatkan diri muncul. Bersama keluarganya, ia berlari sekencang mungkin menuju sekolah dasar itu, yang dianggap sebagai tempat aman terdekat. "Ya, saat itu di rumah. Lalu lari ke sini. Berlarian sendiri-sendiri," tambahnya.
Di sisi lain, cerita serupa datang dari Sugiha, tetangga satu dukunnya. Ia bahkan sempat menyaksikan langsung gulungan awan panas itu meluncur dari puncak Semeru. "Seperti abu panas bergulung-gulung. Saya lihat dari rumah," ujar Sugiha.
Artikel Terkait
Gus Aam Soroti Tiga Keunggulan Umroh Mandiri Pasca Disahkan Pemerintah
Misteri Kerangka dalam Batang Aren Terkuak, Identitas Korban Akhirnya Terungkap
Cilincing Berubah Wajah, Truk-Truk Raksasa Menghilang di Pagi Hari
Di Usia Senja, Ratusan Lansia Jakarta Raih Wisuda Terbesar di Indonesia