Pendidikan Indonesia di Ujung Tanduk: Krisis Karakter dan Kualitas yang Terus Menganga

- Jumat, 21 November 2025 | 08:25 WIB
Pendidikan Indonesia di Ujung Tanduk: Krisis Karakter dan Kualitas yang Terus Menganga

Pendidikan Kita yang Tersesat di Persimpangan

Kondisi pendidikan di tanah air memang bikin prihatin. Kurikulum silih berganti, seolah tak pernah menemukan bentuk yang pas. Yang lebih memilukan, niat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional itu sendiri terasa setengah hati. Tidak ada keriusan.

Padahal, jika kita buka UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3, tujuannya begitu mulia. Pendidikan nasional dirancang untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Tapi, ya itu tadi. Antara cita dan fakta bagai langit dan bumi. Jauh panggang dari api. Ambil contoh sederhana. Bagaimana mungkin kita ingin membentuk murid yang beriman dan berakhlak mulia, sementara jam pelajaran agama cuma dua jam dalam seminggu? Padahal, pendidikan agama punya peran strategis dalam membentuk karakter anak.

Kalau kita tilik sejarah, sebenarnya Indonesia punya fondasi yang kuat. Sejak masa kolonial, pendidikan di Nusantara berjalan lewat dua jalur utama.

  1. Pesantren, yang berperan sebagai pusat pembentukan moral, akhlak, dan ilmu agama.
  2. Sekolah kolonial, yang orientasinya lebih ke birokrasi dan administrasi.

Di masa awal kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara sudah menegaskan bahwa pendidikan Indonesia harus menciptakan manusia yang “merdeka lahir batin”. Bukan sekadar pintar, tapi punya karakter dan kepribadian yang kuat.

Namun begitu, perjalanan setelahnya tak selalu mulus. Di era Orde Lama dan Orde Baru, pendidikan kerap dijadikan alat konsolidasi negara. Lalu, ketika reformasi bergulir, kurikulum pun berganti dengan cepat—seperti orang kebingungan mencari jati diri. Kita saksikan peralihan dari KTSP, lalu Kurikulum 2013, dan sekarang Kurikulum Merdeka.

Pertanyaan besarnya: apakah semua perubahan ini benar-benar meningkatkan kualitas? Sayangnya, fakta menjawab dengan getir.

Peringkat pendidikan Indonesia di kancah global sungguh mengkhawatirkan. Data PISA 2022 (yang dirilis tahun 2023) menempatkan Indonesia pada posisi yang memalukan.

  • Peringkat 71 dari 81 negara dalam literasi membaca.
  • Peringkat 73 dari 81 negara dalam matematika.
  • Peringkat 72 dari 81 negara dalam sains.

Intinya, kita masih masuk dalam jajaran 10 terbawah dunia. Ini alarm keras. Sistem kita ternyata gagal menumbuhkan kemampuan dasar literasi, numerasi, dan sains pada anak didik.

Di sisi lain, ketimpangan antar sekolah juga terasa sangat tajam. Sekolah di kota besar mungkin sudah mendekati standar modern. Tapi, coba datangi sekolah-sekolah di pelosok desa. Banyak yang masih kekurangan guru, akses internet nyaris nol, perpustakaan seadanya, sanitasi memprihatinkan. Kualitas guru pun timpang—distribusinya tidak merata dan kompetensi masih jadi masalah klasik yang tak kunjung usai.


Halaman:

Komentar