Pertanyaannya, kenapa bisa begini? Apakah dulu MK lebih segan atau khawatir terhadap Jokowi, sementara sekarang tidak? Atau ada faktor lain?
Yang jelas, putusan-putusan ini bikin pusing tujuh keliling. Belum selesai urusan penghapusan syarat 20 persen dan pemisahan Pemilu Nasional dengan Pemilu Lokal—yang secara tidak langsung mengubah siklus lima tahunan—kini muncul lagi persoalan empat ribu lebih anggota Polri yang harus ditarik kembali ke markas.
Bayangkan saja. Menggantikan ribuan pejabat dalam waktu singkat? Itu pekerjaan rumah yang amat berat bagi eksekutif dan legislatif. Kecuali mereka semua memilih mundur dari Polri dan tetap di posisi sipilnya sekarang. Tapi, ini juga menunjukkan betapa jauhnya anggota Polri sudah 'merambah' ke institusi lain. Polisi jadi birokrat.
Di sisi lain, putusan MK sifatnya final. Tidak bisa ditawar lagi. Artinya, aturan lain yang memperbolehkan Polisi menduduki jabatan sipil harus mengikuti putusan ini, bukan sebaliknya. Tidak ada alasan untuk menunggu perubahan undang-undang dulu.
Memang, sejak awal Prabowo lewat Fraksi Gerindra di DPR sudah ingin menghapus syarat 20 persen itu, tapi selalu ditolak. Kini, begitu ia menjadi Presiden, syarat itu langsung dihapus. Ironisnya, ada yang bilang keputusan ini justru menguntungkan Jokowi, kalau-kalau anaknya, Gibran, mau maju lagi di Pilpres mendatang.
Jadi, apakah MK di era yang berbeda punya keberpihakan yang berbeda pula? Atau ini sekadar kebetulan belaka? Yang pasti, ruang sidang MK kini lebih sering mengeluarkan keputusan yang mengguncang panggung politik.
Artikel Terkait
Trump dan MBS Main Angka, Investasi AS-Saudi Tembus Rp 8.000 Triliun
Panglima TNI Turun ke Galian, Bongkar Tambang Timah Ilegal di Kawasan Hutan
Suami di Lubuklinggau Siram Istri Pakai Air Keras Lantaran Ditolak di Ranjang
Golan Tetap Membara: Status Quo yang Tak Kunjung Usai