MURIANETWORK.COM - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut meninggalkan dua 'warisan' yang menjadi catatan kelam bagi demokrasi dan pengelolaan negara.
Kritik pedas ini dibongkar oleh pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, yang menyoroti proses legislasi super cepat dan penempatan pejabat beraroma konflik kepentingan.
Dalam diskusi panas di podcast "Deddy Sitorus Official", Bivitri secara gamblang memaparkan bagaimana dua praktik ini menjadi jejak bermasalah yang akan terus menghantui tata kelola pemerintahan Indonesia.
Dosa Legislasi Super Cepat: Partisipasi Publik Sekadar Formalitas?
Salah satu 'dosa' utama yang diungkap Bivitri adalah bagaimana undang-undang krusial disahkan dengan proses secepat kilat, seolah-olah sengaja mengabaikan suara publik.
Praktik ini, menurutnya, menjadi ciri khas yang mengkhawatirkan.
"Salah satu warisan yang dikritik adalah proses pembahasan undang-undang yang sangat cepat dan minim partisipasi, seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja," ungkap Bivitri.
Ia mencontohkan bagaimana UU Minerba dan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadi bukti nyata.
Kedua regulasi raksasa ini digedok di tengah penolakan masif dari masyarakat sipil, akademisi, hingga mahasiswa.
Proses pembahasannya yang tertutup dan tergesa-gesa memicu tudingan bahwa legislasi tersebut lebih melayani kepentingan segelintir elite dan korporasi ketimbang publik.
Gelombang demonstrasi besar-besaran yang meletus di berbagai kota menjadi bukti betapa publik merasa suaranya tidak didengar.
Kecepatan ini bukan lagi soal efisiensi, melainkan telah merusak prinsip dasar demokrasi yang menuntut partisipasi substantif.
Artikel Terkait
Gugatan Perdata Gibran Resmi Diproses, Apa Dampaknya?
Gugatan Praperadilan Nadiem Makarim vs Polri: Ini Hasilnya!
Kejagung Malah Memohon ke Pengacara Silfester, Bukannya Buronkan—Ada Apa?
Hotman Paris Dibantah! JPU Bongkar Kerugian Negara di Kasus Korupsi Laptop Chromebook