"Nilai pemerasannya itu diduga sampai Rp2,4 miliar,"
kata sebuah sumber kepada RMOL, Jumat (19/12). Angka yang fantastis, jauh mengangkangi jumlah harta yang dia laporkan.
Namun begitu, ada drama sebelum OTT ini terjadi. Rencana KPK konon sempat bocor. Alih-alih ditangkap, Redy dan kawan-kannya justru lebih dulu menghadapi sidang etik internal yang digelar Jamintel Kejagung. Hasilnya? Uang pemerasan itu dikembalikan ke korban. Dan dalam logika penegakan hukum, pengembalian barang bukti seringkali mematikan proses pidana.
Tapi KPK tak menyerah. Mereka tetap melancarkan OTT dan berhasil meringkus Redy. Tak sendirian, dua pengacara, enam orang swasta, termasuk seorang ahli bahasa ikut diamankan. Sayangnya, dua jaksa lain yang diduga terlibat kabur dan belum tertangkap.
Pasca penangkapan, alur kasus pun berbelit. Kejagung menerbitkan Sprindik untuk empat tersangka, termasuk Redy. Dengan dasar itulah, penanganan perkara diambil alih. KPK pun akhirnya menyerahkan berkas kasus ini pada Kamis malam, 18 Desember 2025.
Kini, kasusnya ada di tangan Kejagung. Publik tentu menunggu, apakah proses hukum akan berjalan transparan, atau justru tenggelam dalam birokrasi dan kesepakatan tertutup. Yang jelas, selisih Rp2,4 miliar dan Rp197 juta itu bicara terlalu keras tentang sebuah ketidakwajaran.
Artikel Terkait
Polisi Buka Opsi Praperadilan untuk Roy Suryo Cs dalam Kasus Ijazah Jokowi
Rp201 Miliar Hanya Awal, KPK Bongkar Skala Sebenarnya Pemerasan di Kemnaker
KPK Amankan Oknum Jaksa di Banten dalam Operasi Tertutup
KPK Lacak Aliran Dana Iklan BJB ke Ridwan Kamil