Dalam Islam, beban pendidikan anak sepenuhnya ada di pundak orang tua. Ini soal hak anak yang tak bisa ditawar. Mereka berhak mendapat pendidikan layak. Rumah, karenanya, harus menjadi sekolah pertama dan utama. Di sanalah peran orang tua sebagai guru dimulai, menciptakan suasana belajar yang ramah dan penuh kasih.
Anak adalah anugerah sekaligus amanah. Banyak istilah indah yang menggambarkan betapa berharganya mereka di mata orang tua: permata hati, belahan jiwa, buah hati. Intinya sama, bagi orang tua, anak seringkali berarti segalanya bahkan melebihi diri mereka sendiri.
Maka tak heran Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Anak itu adalah buah hati.”
Hadis riwayat Abu Ya’la ini seolah mengukuhkan apa yang sudah dirasakan banyak orang tua. Setiap anak terlahir fitrah, ibarat kertas putih yang masih bersih. Karena itulah, Islam dengan tegas memerintahkan orang tua untuk memikul tanggung jawab mendidik. Perintah ini, seperti tercantum dalam QS at-Tahrim ayat 6, bukan sesuatu yang bisa begitu saja dialihkan kepada pihak lain, termasuk guru di sekolah.
Peringatan keras juga datang dari ulama besar, Ibnu Qayyim. Ia mengutip sebuah perkataan yang gamblang:
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap anak tentang orang tuanya. Barang siapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya, maka ia telah melakukan puncak keburukan. Kebanyakan kerusakan pada anak, sesungguhnya, bersumber dari kelalaian orang tua yang tidak mengajarkan kewajiban agama dan sunnah.”
Nah, soal panduan praktis, ada upaya menarik dari Tim Modul Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga DPW PKS Jawa Barat. Mereka merilis Modul Ketahanan Keluarga untuk Relawan Rumah Keluarga Indonesia. Modul ini berisi prinsip-prinsip dasar mendidik anak.
Intinya sederhana: ajarkan dengan cinta. Ajarkan berdoa agar ia terbiasa bersandar pada Allah. Ajarkan berterima kasih dan meminta maaf, agar tumbuh sikap menghargai dan kemampuan memperbaiki diri. Latihlah untuk berbagi dan menolong, supaya jiwa penyayangnya tumbuh dan kesombongan menjauh.
Kemandirian dan keberanian juga penting. Yang pertama membentuk mental kuat, yang kedua melatihnya membela kebenaran. Jangan lupa ajarkan kejujuran, kesantunan dalam berkata, dan kesederhanaan. Dorong ia untuk mencintai ilmu dan membaca, serta beri ia ruang untuk bertanya dan mencari solusi. Pada akhirnya, berikanlah cinta tanpa syarat, agar ia pun belajar menyayangi.
Perspektif lain datang dari Prof. Sartini, yang tulisannya dikutip dalam buku “Pembodohan Siswa Tersistematis” karya M Joko Susilo. Ia memberi pandangan tentang dampak perlakuan terhadap anak.
Artikel Terkait
Di Balik Gerobak Bakso Pangandaran: Kisah Nelayan yang Bertahan di Tepian
Bupati Lampung Tengah Tersandung Suap Rp5,7 Miliar untuk Bayar Utang Kampanye
Suharti Buka Suara: Data Pendidikan Masih Banyak PR Meski 71,9% Dinilai Baik
Di Balik Duka Sumatera, Solidaritas Ternyata Menyembuhkan Jiwa Penolong