Perempuan Disabilitas: Beban Tiga Lapis yang Terus Dibungkam

- Senin, 15 Desember 2025 | 11:00 WIB
Perempuan Disabilitas: Beban Tiga Lapis yang Terus Dibungkam

Hambatan pendidikan memperburuk segalanya. Sekolah yang tidak aksesibel, alat bantu yang kurang, plus bullying yang tak jarang terjadi, memaksa banyak perempuan disabilitas putus sekolah. Imbasnya, kualifikasi kerja mereka terbatas pada sektor informal yang tak menjamin keamanan ekonomi.

Data dari Komnas Perempuan cukup jelas menggambarkan ketimpangan ini.

Hanya 42,7% perempuan disabilitas yang bekerja. Angka ini jauh lebih rendah dibanding laki-laki disabilitas, yang mencapai 57,3%.

Kerentanan yang Tinggi terhadap Berbagai Bentuk Kekerasan

Risiko kekerasan yang mereka hadapi sungguh mengkhawatirkan. Mulai dari kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kekerasan berbasis teknologi. Ketergantungan pada orang lain kerap membuat mereka jadi target empuk. Parahnya, akses untuk melapor masih sangat rendah. Banyak layanan pengaduan tidak menyediakan bahasa isyarat atau pendampingan yang memadai.

Di tempat kerja, eksploitasi dan pelecehan kerap terjadi tanpa mekanisme perlindungan yang jelas. Situasi ini cuma memperkuat siklus kemiskinan, trauma, dan ketidakberdayaan yang tak berujung.

Minimnya representasi mereka dalam pembuatan kebijakan memperparah keadaan. Kebijakan disabilitas yang ada cenderung netral gender. Alhasil, pengalaman spesifik perempuan disabilitas pun terabaikan.

Akar Masalah yang Masih Mengakar Kuat

Budaya patriarki melihat perempuan sebagai pihak kedua. Disabilitas? Sering dianggap aib atau beban keluarga. Gabungan cara pandang kolot inilah yang membuat perempuan disabilitas tidak diperlakukan sebagai subjek yang punya suara. Mereka cuma jadi objek belas kasihan, atau malah sesuatu yang perlu disembunyikan.

Kebijakan publik kita jarang menggunakan sudut pandang interseksional. Akibatnya, masalah yang dialami perempuan disabilitas tidak terbaca utuh. Solusi yang ditawarkan pun meleset dari kebutuhan mereka. Media juga kerap terjebak pada narasi inspirasi individu memuji perjuangan personal, tapi mengaburkan masalah struktural yang jauh lebih besar dan sistemik.

Lantas, bagaimana memutus rantai ini? Pendidikan dan dunia kerja harus benar-benar diubah jadi inklusif. Mulai dari akses fisik, guru yang terlatih, hingga akomodasi kerja yang layak dan aman. Tapi yang paling krusial, perempuan disabilitas harus dilibatkan langsung. Mereka harus duduk di meja perumusan kebijakan. Baru suara dan pengalaman mereka akan benar-benar terwakili, bukan sekadar jadi bahan wacana.


Halaman:

Komentar