Gusti Bendara: Menjembatani Tradisi Keraton dan Tuntutan Zaman di Ujung Jari

- Kamis, 11 Desember 2025 | 16:54 WIB
Gusti Bendara: Menjembatani Tradisi Keraton dan Tuntutan Zaman di Ujung Jari

Keraton Yogyakarta sedang berada di fase yang menarik. Tradisi panjangnya kini bertemu dengan tuntutan zaman yang serba digital dan cepat. Di persimpangan ini, sosok Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara muncul sebagai figur kunci yang menjembatani keduanya.

Sebagai bungsu dari Sri Sultan Hamengkubuwono X dan GKR Hemas, dia memegang dua peran strategis sekaligus. Di satu sisi, dia adalah Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nitya Budaya di Keraton. Di sisi lain, ia juga menjabat sebagai Kepala Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) DIY. Dua jabatan ini, meski berbeda ranah, punya benang merah yang sama: menjaga agar budaya tetap hidup dan relevan untuk generasi sekarang.

Pada akhir November lalu, kami berkesempatan sowan kepada Gusti Bendara di Yogyakarta. Di balik tembok keraton yang megah, kami menyaksikan bagaimana seorang perempuan dalam institusi budaya tertua di Indonesia menavigasi ekspektasi dan tantangan yang datang berlapis.

Dalam percakapan yang jujur dan lugas, dengan selipan humor jenaka, Gusti Bendara berbagi caranya menyeimbangkan modernitas yang bergerak cepat dengan nilai-nilai luhur yang dipegang teguh.

Anda memrakarsai Jogja Cultural Wellness Festival (JCWF). Dari sekian banyak isu budaya di Jogja, kenapa justru wellness yang diangkat?

Gusti Bendara: Yogyakarta sudah ditetapkan sebagai salah satu dari tiga daerah dengan fokus pengembangan wellness. Jadi, kami di badan promosi merasa perlu mendorong komunitas wellness yang sudah ada di sini. Tujuannya agar jangkauan mereka lebih luas dan komunikasi dengan pelaku industri pariwisata bisa lebih erat.

Anda pernah menyebut wellness di Indonesia terlalu lama didominasi praktik seperti yoga dari India. Apa keresahan terbesarnya?

GB: Produk budaya kita sebenarnya sangat kaya, tapi suaranya belakangan ini kurang terdengar. Padahal, banyak program budaya Yogyakarta yang sebenarnya bisa dikategorikan sebagai wellness. Sayangnya, belum ada yang benar-benar mendorong mereka untuk melangkah lebih jauh, dari sekadar budaya menjadi sebuah produk wellness yang matang.

Lalu, seperti apa bentuk wellness versi kearifan lokal Jogja?

GB: Di Bali, melukat sudah cukup dikenal. Nah, di Jogja kami punya banyak hal. Ambil contoh menari. Ia tak cuma seni, tapi juga olahraga bernuansa wellness karena ada proses menyerap irama gamelan, tempo, dan harmoni yang menenangkan.

Lalu ada macapat, tembang berisi doa dan harapan. Nadanya sangat cocok untuk meditasi. Kami berharap praktik-praktik ini bisa menggaung lebih luas. Apalagi, riset menunjukkan frekuensi nada gamelan memang sesuai untuk aktivitas wellness.

Tapi kenapa wellness lokal Jogja masih kalah tenar dibanding, misalnya, melukat dari Bali?

GB: Yoga dan melukat dikenal karena pengenalan yang konsisten selama puluhan tahun. Dengan semangat yang sama, JCWF hadir sebagai wadah. Kami ingin memperkenalkan macapat dan lainnya ke komunitas wellness, dengan kemasan yang lebih fresh tapi esensinya tetap. Harapannya, terjadi getok tular yang membawanya ke tingkat global.

Jadi, apa yang membuat JCWF wajib masuk list liburan ke Jogja setiap November?

GB: Festival ini sudah masuk tahun ketiga. Setiap November, kami berkomitmen mendorong komunitas wellness di Jogja untuk membuat beragam aktivitas. Jadi, wisatawan yang datang di bulan itu akan menemukan paket dan pengalaman wellness yang spesial. Ini juga jadi ruang pertemuan bagi komunitas dan pelaku industri untuk saling kenal dan berkolaborasi.

Selain wellness, BPPD DIY juga fokus pada desa wisata. Di era digital, apakah konsep ini masih relevan?

GB: Sangat relevan, justru untuk generasi milenial dan Gen Z. Mereka sekarang lebih suka mencari hidden gems dan pengalaman autentik. Datang, foto, lalu pulang? Itu sudah basi. Mereka ingin merasakan langsung: lihat sawah, coba membajak, atau bersepeda keliling desa.

Pilihan di Jogja banyak sekali. Ada desa wisata dengan konsep wellness, ada yang menawarkan pengalaman membatik atau membuat topeng. Kedalaman pengalaman seperti ini cuma bisa didapat dengan datang langsung. Destinasi populer saja seringkali nggak bisa memberikan hal yang sama.

Ada berapa banyak desa dan kampung wisata di Yogyakarta?

GB: Totalnya 216, tersebar di kabupaten dan kota.

Apa ‘formula’ agar generasi muda mau datang dan terlibat di desa wisata?

GB: Ada dua sisi. Pertama, Gen Z perlu mulai mencari destinasi beyond Instagram. Memang platform itu jadi acuan, tapi coba lakukan riset kecil-kecilan. Di Jogja saja, sudah ada dua desa wisata yang meraih penghargaan Best Tourism Village in the World dari UNWTO.

Kedua, desa wisata sendiri harus beradaptasi. Mereka perlu membangun strategi pemasaran yang lebih kuat di platform digital agar cerita dan keunikan mereka makin dikenal.

Kenapa desa wisata jadi salah satu unggulan pariwisata Jogja?

GB: Dampak ekonominya langsung dirasakan masyarakat desa. Setiap pengeluaran wisatawan, sekecil apapun, terserap sepenuhnya oleh warga. Inilah yang membuat Jogja lebih tangguh menghadapi gejolak, seperti saat pandemi dulu.

Kami juga punya regulasi yang mendukung, dari pelestarian budaya hingga distribusi pergerakan wisatawan sampai tingkat kelurahan. Ekonomi pun menyebar lebih merata. Konsepnya bukan membangun yang megah, tapi memperkuat kearifan lokal dari rumah ke rumah. Dengan begitu, keunikan tiap daerah terjaga dan bisa bersaing.

Dari kunjungan ke desa-desa wisata, insight apa yang paling mengubah cara pandang Anda?


Halaman:

Komentar