Gusti Bendara: Menjembatani Tradisi Keraton dan Tuntutan Zaman di Ujung Jari

- Kamis, 11 Desember 2025 | 16:54 WIB
Gusti Bendara: Menjembatani Tradisi Keraton dan Tuntutan Zaman di Ujung Jari

GB: Banyak pelaku desa wisata yang kurang percaya diri. Mereka merasa apa yang dimiliki ‘terlalu sederhana’. Padahal, justru di situlah kekuatan mereka. Keunikan Bantul belum tentu dimiliki kota Jogja, karena tiap wilayah punya kearifan lokal dan kondisi geografis yang berbeda. Itu adalah identitas yang tak bisa ditiru.

Masalahnya, banyak penggiatnya tidak punya latar belakang pariwisata. Mereka belum tahu cara mengemas dan memasarkan paket wisata. Di sinilah peran pemerintah dan badan promosi masuk untuk mendampingi. Polanya, satu desa dibimbing sampai tuntas, baru beralih ke desa berikutnya. Itu yang sedang kami jalankan.

Anda juga memimpin Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya di Keraton. Bisa dijelaskan tugasnya?

GB: Saya menerima serat dhawuh dari Ngarso Dalem untuk memimpin kawedanan ini, yang membawahi empat departemen. Pertama, Kawedanan Radya Kartiasa, yang urus pariwisata keraton. Kedua, Kawedanan Widya Budaya, mengelola manuskrip dan arsip keraton, termasuk digitalisasi dan perawatan.

Ketiga, Kawedanan Puroyokoro, mengurusi aset barang, dari kursi sehari-hari hingga kereta dan tandu bersejarah. Ada unit konservasi yang tugasnya menjaga agar benda-benda itu bisa bertahan 100-200 tahun ke depan. Terakhir, Kawedanan Kridhamardawa, yang menangani seni pertunjukan seperti sendratari, royal orchestra, macapat, dan jemparingan.

Tanggung jawab yang tidak mudah. Bagaimana cara menyelaraskan semuanya?

GB: Menyelaraskannya memang butuh usaha. Untuk Kridomardowo yang dipimpin kakak ipar saya, koordinasi bisa dilakukan setiap hari, bahkan lewat obrolan di meja makan. Tapi untuk Puroyokoro dan Widyo Budoyo, butuh perhatian lebih karena banyak hal sensitif di sana.

Sementara Radya Kartiyoso di sektor pariwisata sudah berjalan solid selama 30 tahun. Timnya kuat, perbaikan berkelanjutan, dan mereka baru saja dapat Museum Award. Karena sudah ditangani orang-orang yang kompeten, tugas saya lebih ke koordinasi dan memastikan semuanya selaras.

Sejauh mana teknologi, seperti digital storytelling, bisa bantu keraton tetap relevan?

GB: Digitalisasi sangat penting. Ia memungkinkan kami menyajikan cerita budaya dengan cara yang ‘nyambung’ untuk generasi milenial dan Gen Z. Mereka sering dianggap jauh dari budaya, padahal mungkin cuma belum tahu mulai dari mana.

Dengan menghadirkan lebih banyak konten dan ragam storytelling, kami berharap ada satu cerita yang memicu rasa ingin tahu mereka. Dari situ, mereka akan menelusuri lebih dalam. Dampaknya sudah terlihat. Sejak Keraton aktif di Instagram, TikTok, dan situs resmi, minat publik untuk memahami budaya meningkat signifikan.

Latar belakang pendidikan Anda di bidang pariwisata. Ini ketertarikan pribadi atau ada mandat khusus?

GB: Saya tumbuh di lingkungan keraton sejak kecil. Tapi waktu kuliah, pilihan jurusan hospitality lebih karena dorongan orang tua. Waktu itu saya belum tahu mau ke mana. Ngarso Dalem dan Gusti Mangkubumi yang menyarankan, melihat karakter saya yang supel.

Namun setelah dijalani, saya justru lebih tertarik pada aspek pariwisatanya ketimbang perhotelan. Saat S2, saya mencari bidang yang relevan dengan diri saya dan kebutuhan keraton. Akhirnya ketemu dengan Cultural and Heritage Tourism Management. Itulah yang pas.

Banyak anak muda mempertanyakan relevansi monarki. Jika bisa berbicara ke Gen Z se-Indonesia, apa yang ingin Anda jelaskan tentang peran keraton hari ini?

GB: Selama ini publik mungkin melihat Keraton cuma sebagai institusi budaya. Tapi sebenarnya, peran kami juga mencakup pengayoman sosial. Keluarga Keraton sering dipercaya memimpin organisasi kepemudaan, seperti karang taruna atau pramuka, untuk memastikan posisi itu dijalankan secara netral dan bisa merangkul semua kalangan.

Di luar budaya, kami juga berusaha menyuarakan kelompok yang rentan. Kakak saya, contohnya, mengelola yayasan untuk perlindungan korban KDRT. Kami juga aktif berkomunikasi dengan komunitas difabel dan kelompok minoritas lainnya. Suara merekalah yang kami coba wakilkan agar lebih terdengar. Jadi, perannya lebih menyeluruh, tidak berhenti di budaya saja.

Dari banyak peran tadi, apa tantangan utama Anda sebagai seorang pemimpin perempuan?

GB: Tantangan terbesarnya adalah disepelekan. Ngarso Dalem sendiri pernah mengingatkan kami, para putri, bahwa standar untuk perempuan seringkali berlapis. Sebagai Penghageng, saya merasakan betul standar ganda itu. Kalau posisi ini diisi laki-laki, mungkin tidak ada yang mempertanyakan. Tapi ketika saya yang duduk di sini, muncul keraguan: “Mampukah dia? Kuatkah?” Itu tantangan yang nyata.

Tapi langkah Ngarso Dalem membuka pintu bagi kami, bahwa anak raja yang bertahta berhak memegang jabatan tanpa memandang gender. Itu memberikan peluang sekaligus legitimasi besar. Itulah fondasi yang membuat kami berani melangkah.

Lalu apa yang Anda lakukan saat ada yang menyepelekan?

GB: Dengan membuktikannya langsung. By actually doing it. Cara paling nyata adalah tunjukkan lewat aksi bahwa kita mampu. Semua saudara perempuan saya sudah melakukannya, dan saya pun akan begitu.

Bagi kami, Anda adalah sosok Role Model. Bagaimana perasaan Anda?

GB: Terima kasih. Sejujurnya saya merasa belum melakukan apa-apa yang istimewa. Masih banyak perempuan lain yang jauh lebih hebat dan mungkin belum terliput. Tapi saya sangat berterima kasih sudah dianggap sebagai role model. It’s an honour. Setidaknya, saya tidak disepelekan, melainkan diakui.

Siapa role model untuk Anda sendiri?

GB: Ibu saya. She is a tough woman. Meskipun beliau adalah permaisuri, tetap banyak yang menyepelekan di awal. Tapi seiring waktu, beliau membuktikan semuanya. Sukses sebagai ibu, sebagai perempuan berkarier, aktif di sosial, dan tetap luar biasa dalam mendampingi seorang raja. It’s not easy to be four women, in one.


Halaman:

Komentar