Di sisi lain, pasar justru dibayangi oleh prospek lain yang bisa menambah pasokan: potensi kesepakatan damai Rusia-Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky disebut-sebut bersedia mencabut ambisi bergabung dengan NATO, setelah pembicaraan maraton dengan utusan AS di Berlin.
“Dalam dua hari terakhir, perundingan Ukraina-AS berlangsung konstruktif dan produktif, dengan kemajuan nyata yang dicapai,”
tulis Rustem Umerov, Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina, dalam sebuah postingan.
Jika perdamaian benar-benar terwujud, sanksi Barat terhadap minyak Rusia berpeluang dilonggarkan. Alhasil, pasokan dari salah satu produsen terbesar dunia itu bisa kembali membanjiri pasar.
Tekanan juga datang dari data ekonomi China yang mengecewakan. Pertumbuhan output pabrik dan penjualan ritel melambat ke level terendah dalam belasan bulan. Padahal, Negeri Tirai Bambu adalah mesin permintaan minyak terbesar dunia. Melemahnya ekonomi China langsung mendinginkan semangat pasar.
Analis UBS, Giovanni Staunovo, menyoroti hal ini. “Sentimen risk-off, pasar saham AS yang melemah, serta data ekonomi China yang lebih lemah dari perkiraan tidak membantu pergerakan harga minyak mentah,” ujarnya.
Prospek ke depan pun tidak terlalu cerah. Dalam sebuah catatan penelitian, J.P. Morgan Commodities Research memprediksi surplus minyak akan melebar hingga tahun 2026 dan 2027. Pasalnya, pertumbuhan pasokan global diproyeksi tiga kali lebih cepat ketimbang pertumbuhan permintaan. Jadi, meskipun ada gangguan di Venezuela atau di tempat lain, pasar sepertinya masih akan dibanjiri minyak untuk tahun-tahun mendatang.
Artikel Terkait
Prabowo Dorong Papua Mandiri Energi dari Sawit hingga Tenaga Surya
BBRI Cetak Rekor: Saham Melonjak 48 Kali Lipat Sejak IPO Dua Dekade Lalu
Pemerintah Siapkan Jeda KUR untuk Pengusaha Terdampak Bencana Sumatera
Bank Dunia Naikkan Proyeksi Ekonomi RI, Tapi Peringatkan Ancaman di Pasar Kerja