Meski demikian, sejumlah risiko masih membayangi. Laporan IMF memperingatkan bahwa ketegangan dagang global, volatilitas pasar keuangan, dan ketidakpastian internasional berpotensi menekan kinerja ekonomi Indonesia. Tidak hanya faktor eksternal, risiko dari dalam negeri juga dicatat, dimana perubahan kebijakan besar yang tidak disertai rambu pengaman yang memadai dapat menciptakan kerentanan baru.
Dari sisi anggaran, IMF memproyeksikan defisit fiskal Indonesia akan melebar menjadi 2,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025, dan meningkat menjadi 2,9 persen pada 2026. Angka ini lebih tinggi dari asumsi pemerintah dalam RAPBN 2026 yang sebesar 2,7 persen. Untuk mengatasi hal ini, IMF menekankan pentingnya pengelolaan belanja yang lebih hati-hati, penguatan mobilisasi penerimaan negara, dan efisiensi anggaran guna menjaga ruang fiskal.
Di sektor moneter, IMF menilai langkah Bank Indonesia (BI) melonggarkan kebijakan dengan memangkas suku bunga sebesar 150 basis poin dan melonggarkan likuiditas sudah tepat. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit secara bertahap.
"Ruang untuk pemangkasan suku bunga tambahan masih terbuka, namun keputusan tersebut harus tetap berbasis data dan mempertimbangkan dampak tunda dari kebijakan yang telah dilakukan BI," jelas laporan tersebut. IMF juga menegaskan bahwa fleksibilitas nilai tukar Rupiah tetap penting sebagai bantalan terhadap gejolak global, sambil menyarankan agar intervensi di pasar valas tetap mempertimbangkan kecukupan cadangan devisa.
Artikel Terkait
Harga Minyak dan Batu Bara Melonjak, Pasar Waspada Dampak Sanksi Rusia
BUMA Tuntaskan Utang USD 212 Juta Lebih Cepat, Pacu Likuiditas dan Kepercayaan Investor
IHSG Terancam Death Cross, Proyeksi Support di Level 8.300 Mengintai
Wall Street Babak Belur, Nvidia Jadi Penentu Nasib Euforia AI