Reputasi di Ujung Tanduk: Ketika CSR Berubah Jadi Bumerang bagi Korporat

- Minggu, 23 November 2025 | 05:50 WIB
Reputasi di Ujung Tanduk: Ketika CSR Berubah Jadi Bumerang bagi Korporat

CSR sebagai Strategi Membangun Reputasi Brand di Era Digital

Sebuah Pengantar untuk Sewindu CSR Indonesia Awards 2025

Dulu, Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan mungkin hanya dianggap sebagai kewajiban hukum belaka. Tapi sekarang? Semuanya sudah berubah drastis. Di Indonesia, praktik CSR telah berevolusi dengan pesat dalam dua dekade terakhir. Ia tak lagi sekadar memenuhi aturan, melainkan sudah menjadi strategi inti perusahaan untuk membangun legitimasi sosial dan menciptakan kepercayaan.

Yang menarik, perusahaan kini dinilai bukan cuma dari kualitas produknya saja. Dampak sosial dan lingkungan yang mereka wujudkan justru menjadi pertimbangan utama. Kepercayaan publik ibarat mata uang baru yang meneguhkan keberlangsungan bisnis. Makanya, CSR kini berdiri sebagai jembatan strategis antara brand, reputasi korporat, dan publik yang semakin kritis.

Brand Modern dan Makna di Baliknya

Brand modern tak cuma menjual fungsi dan estetika. Lebih dari itu, publik ingin tahu: nilai apa yang diperjuangkan perusahaan? Kontribusi apa yang mereka bawa untuk masyarakat? Bagaimana perusahaan memperlakukan lingkungan dan manusia? Di sinilah CSR menjadi wajah etika brand.

Peran CSR dalam branding cukup vital. Ia bisa membedakan brand di pasar yang kompetitif, meningkatkan preferensi dan loyalitas konsumen, menumbuhkan ikatan emosional dengan publik, serta memperkuat legitimasi merek. Bahkan dalam kondisi krisis reputasi, CSR sering berperan sebagai penjaga kepercayaan terakhir.

Reputasi di Era Digital: Interaksi yang Tak Terkendali

Dulu, brand membangun reputasi lewat pesan satu arah di media konvensional. Sekarang? Reputasi lahir dari interaksi publik yang dinamis dan sulit dikendalikan. Media digital menjadikan setiap individu sebagai produsen narasi.

Ada tiga arena komunikasi utama yang berpengaruh. Media massa yang kredibel dan berpengaruh menciptakan framing reputasi publik. Media digital yang real-time meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Sementara media sosial yang partisipatif dan viral mempercepat pembentukan opini publik.

Di media sosial, persepsi masyarakat menjadi amplifier yang dahsyat. Kepedulian yang nyata bisa viral secara positif. Sebaliknya, kesalahan kecil bisa membesar menjadi krisis reputasi. Karena itulah, storytelling CSR harus autentik, berbasis bukti, dan mudah dipahami publik.

Ketika CSR Justru Menjadi Bumerang

Namun begitu, tak semua cerita CSR berakhir manis. Ada kalanya program mulia justru berubah menjadi lubang reputasi.

Ambil contoh kasus dugaan korupsi dana CSR yang dikelola Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk periode 2020–2023. Dana Program Sosial Bank Indonesia dan penyuluhan jasa keuangan diduga diselewengkan. Buktinya? Ada mobil mewah senilai sekitar Rp1 miliar yang disita dari salah satu pihak terkait.

Akibatnya, publik menjadi skeptis terhadap program CSR yang dikelola institusi publik dan korporasi besar. Kepercayaan rusak bukan cuma pada institusi yang terlibat, tapi juga pada konsep CSR secara keseluruhan.

Kasus lain adalah penggelapan dana CSR di korporasi nasional. Investigasi menyebut dana CSR "dialihkan untuk kepentingan pribadi". Aktivitas CSR hanya dilaporkan di permukaan tanpa dampak nyata yang terlihat. Sponsor sosial jadi alat pencitraan, bukan transformasi.

Belum lagi masalah ketidaksinergian program CSR dengan komunitas. Banyak program yang tidak melibatkan komunitas secara memadai, sehingga hasilnya tidak sesuai harapan.

Dari kasus-kasus ini, kita belajar: transparansi adalah kunci. Substansi lebih penting dari publikasi. Engagement dengan stakeholder harus nyata, bukan sekadar lip service. Program CSR yang buruk justru menjadi liability bagi brand, bukan asset.

ESG: Masa Depan Pedoman Reputasi

CSR kini semakin terintegrasi dalam kerangka Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai standar global reputasi perusahaan. Investor, regulator, dan generasi muda semakin menggunakan ESG sebagai cermin kinerja moral perusahaan.


Halaman:

Komentar