Lebih lanjut, Djoko menyoroti perlunya operator menyediakan opsi atau alternatif evakuasi lain selain berjalan kaki. Hal ini khususnya krusial untuk mengakomodir penumpang prioritas seperti ibu hamil, lansia, balita, atau penumpang dengan kondisi darurat lainnya.
"Memang berjalan kaki adalah opsi termudah, tetapi tidak boleh dipaksakan bagi yang tidak mampu. Harus ada cara lain, misalnya dengan bantuan tim Damkar (Pemadam Kebakaran) untuk menurunkan penumpang dari ketinggian," jelas Djoko.
Dampak Gangguan Operasional bagi Penumpang
Meski prosedur evakuasi dianggap wajar, gangguan operasional praktis menimbulkan kerugian materiil bagi penumpang. Salah satu korban, Aida Fathira, seorang fotografer, mengaku harus kehilangan job pemotretan pernikahan akibat insiden ini.
Aida bercerita bahwa perjalanan darurat berjalan kaki di atas rel memakan waktu sekitar 20 menit untuk menempuh jarak 800 meter menuju Stasiun Kampung Rambutan. "Saya rugi waktu, tenaga, dan tentunya job yang dibatalkan. Saya sudah menyiapkan waktu 2 jam lebih awal dari Kuningan, tapi siapa sangka perjalanan menjadi lebih dari 2 jam," keluhnya.
Kejadian ini menyoroti pentingnya kesiapan operator dalam mengantisipasi gangguan dan mengkomunikasikan prosedur keselamatan dengan jelas kepada seluruh penumpang LRT Jabodebek.
Artikel Terkait
Rute Baru & Frekuensi NAIK! Indonesia-Turki Buka 8 Destinasi Baru
Raisa-Hamish Daud Akhirnya Buka Suara: 3 Fakta Mengejutkan di Balik Keputusan Cerai Mereka
Prabowo Bongkar Strategi Rahasia ASEAN? Ini Langkah Nyata untuk Myanmar & Thailand-Kamboja yang Bikin Dunia Terkejut!
Dibekuk di Bandara! Dua Otak Perampokan Perhiasan Louvre Rp1,6 Triliun Akhirnya Tertangkap