Aljazair Tegaskan Penjajahan Prancis sebagai Kejahatan, Hubungan Kedua Negara Memanas

- Sabtu, 27 Desember 2025 | 03:25 WIB
Aljazair Tegaskan Penjajahan Prancis sebagai Kejahatan, Hubungan Kedua Negara Memanas

“Pesan kami jelas: ingatan sejarah tidak bisa dihapus atau ditawar-tawar,” kata Ketua Parlemen Ibrahim Boughali. Pesan itu, menurut sejumlah pengamat, sekaligus menandai titik nadir dalam hubungan kedua negara sejak Aljazair merdeka 63 tahun silam. Suasana memang sudah lama tidak nyaman.

Memang, Presiden Macron pernah menyebut penjajahan di Aljazair sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan pada 2017. Tapi permintaan maaf resmi? Itu tidak pernah diberikan. Bahkan di 2023, Macron kembali menegaskan Prancis tak punya kewajiban untuk meminta maaf. Sikap itu, ditambah beberapa kebijakan lain, terus menggerus hubungan.

Ketegangan memuncak sejak 2024, ketika Prancis dianggap mendukung rencana Maroko terkait Sahara Barat. Aljazair yang mendukung Front Polisario langsung menarik duta besarnya. Mereka merasa Prancis sudah melampaui batas. Keadaan makin runyam setelah Macron mengusulkan pembatasan visa untuk diplomat Aljazair. Balasannya? Pengusiran diplomat secara berantai oleh kedua ibu kota.

Prancis pernah bercokol di Aljazair dari 1830 hingga 1962. Warisan pahitnya masih terasa sampai sekarang, bahkan dalam soal angka. Aljazair menyebut sekitar 1,5 juta orang gugur dalam perang kemerdekaan 1954-1962. Sementara sejarawan Prancis punya perhitungan berbeda, sekitar 500.000 jiwa, dengan 400.000 di antaranya warga Aljazair.

Angka-angka itu mungkin berbeda, tapi rasa sakitnya sama nyatanya. Dan dengan undang-undang baru ini, Aljir seakan berkata: sudah waktunya pertanggungjawaban itu dihitung bukan hanya dengan ingatan, tapi juga dengan tindakan.


Halaman:

Komentar