Di gedung Kementerian Kebudayaan, Jakarta Selatan, suasana Minggu siang itu tampak berbeda. Fadli Zon, sang Menteri Kebudayaan, berdiri di depan para undangan untuk meresmikan sebuah buku tebal. Judulnya cukup menggugah: "Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Zaman." Buku ini bukan karya biasa, melainkan hasil proyek penulisan ulang sejarah yang digarap serius.
Dalam sambutannya, Fadli dengan lugas mengakui satu hal yang mengejutkan. "Saya sendiri sebenarnya belum sempat membaca buku ini sampai tuntas," ujarnya. Namun, dia menekankan bahwa karya ini lahir dari tangan para ahli.
"Ini ditulis oleh sejarawan se-Indonesia. Tadi disebutkan, ada 123 penulis dari 34 perguruan tinggi. Untuk itu, terima kasih yang sebesar-besarnya," kata Fadli.
Bagi dia, proyek semacam ini adalah tugas pokok dari kementerian yang dipimpinnya. Sebuah bentuk fasilitas bagi para peneliti dan penulis sejarah. "Pertanyaannya sederhana," lanjut Fadli, suaranya terdengar tegas. "Kalau sejarawan tidak menulis sejarah, lantas bagaimana kita merawat memori kolektif bangsa kita?"
Namun begitu, jalan proyek ini ternyata tak mulus. Direktorat Sejarah di Kemenbud sendiri sempat vakum sebelum era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Fadli mengaku memperjuangkan keberadaan direktorat itu. "Fungsinya ya untuk memfasilitasi. Kalau tugasnya tidak dilakukan, ya lebih baik tidak usah ada," ucapnya blak-blakan.
Acara peluncuran berlangsung simbolis. Fadli, didampingi Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifuddian dan beberapa penulis, menempelkan puzzle berbentuk peta Indonesia. Gestur itu ingin menunjukkan penyatuan narasi. Tapi di luar ruangan yang khidmat, proyek ini justru memantik badai polemik.
Artikel Terkait
Stok Gula Nasional Dipastikan Aman hingga Akhir Tahun, Bahkan Berpotensi Surplus
Kemenhub Siapkan Empat Pelabuhan Pendukung untuk Antisipasi Padatnya Arus Merak-Bakauheni
Banjir Sumatera Hantam Lebih dari 40 Cagar Budaya
Pengamat Intelijen Bantah Isu Perpol 10/2025 Bentuk Pembangkangan Kapolri