✍🏻 Erizeli Jely Bandaro
Ada sebuah pola yang sudah terlalu sering kita saksikan di negeri ini. Dimulai dengan janji-janji mulia: ketahanan pangan, kemandirian energi, lapangan kerja melimpah. Tapi ujung-ujungnya? Sama saja. Hutan yang hilang, tanah yang dikuasai segelintir orang, dan kekayaan yang mengalir deras ke kantong yang itu-itu juga.
Sumatera contohnya. Pulau itu telah membayar mahal. Bayangkan, dalam waktu dua puluh tahun saja, lebih dari 4 juta hektar hutannya lenyap. Semua digantikan oleh kebun sawit, tambang, dan konsesi-konsesi yang menggiurkan. Dampaknya kita rasakan bersama: asap tahunan, banjir bandang, tanah longsor, plus konflik agraria yang tak kunjung reda. Tapi, setelah sumber daya habis, negara bukannya kapok. Mereka cuma pindah lokasi.
Dan sekarang, sorotan itu mengarah ke Papua.
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini berharap Papua bisa ditanami kelapa sawit. Tujuannya untuk swasembada energi dan produksi BBM nabati. Secara teknis, wacana ini terdengar masuk akal. Namun begitu, persoalannya bukan pada niatnya. Yang jadi masalah adalah pola lama itu yang terbukti merusak kini hendak diterapkan lagi di tempat yang sama sekali berbeda.
Papua itu bukan Sumatera. Wilayah ini adalah benteng terakhir ekologi Indonesia. Sekitar 80% lahannya masih diselimuti hutan alam, termasuk salah satu hutan primer terluas di kawasan Asia Pasifik. Mengubahnya menjadi perkebunan sawit skala besar sama saja dengan mengulangi kesalahan fatal di tempat yang jauh lebih rentan dan tak tergantikan.
Di sisi lain, kita harus akui sawit memang efisien. Bukan cuma secara agronomi, tapi juga secara politik. Komoditas ini butuh lahan luas, modal besar, dan tentu saja, dukungan kebijakan. Strukturnya sudah dari sananya cenderung menguntungkan konglomerat, bukan masyarakat adat setempat.
Pengalaman selama ini menunjukkan hal yang sama. Setiap kali negara bicara sawit, kepemilikan akhirnya selalu terkonsentrasi di grup-grup besar. Sementara warga lokal? Mereka justru kehilangan ruang hidupnya.
Artikel Terkait
GMNI Pecat Kader karena Ujaran Rasis Terhadap Suku Sunda
Membedah Kesalahan: Mengkritik Penguasa Bukanlah Ghibah
Di Tengah Bencana, Jakarta Tegas Tolak Bantuan Asing, Aceh Berteriak Minta Tolong
Duka di Kampus Elit: Fisikawan MIT Tewas Ditembak di Apartemen Brookline