Sudah sebulan berlalu, tapi jejak bencana di Sumatera masih terasa. Di Aceh Tamiang, Peureulak, hingga ke Bireuen yang dikenal sebagai kota juang, banyak keluarga masih terpuruk. Mereka yang sehari-harinya mengandalkan warung kecil atau usaha rumahan, kini harus menghadapi kenyataan pahit: rumah sekaligus tempat usaha mereka hancur diterjang banjir dan longsor. Sorotan media mungkin sudah redup, namun di lapangan, kebutuhan untuk bangkit justru semakin mendesak.
Di tengah situasi itu, tim relawan dari PNM kembali menyusuri permukiman warga dan titik-titik pengungsian. Mereka datang bukan sekadar menyalurkan bantuan sembako, tapi juga mendengarkan. Dan di banyak lokasi, mereka bertemu dengan para nasabah PNM Mekaar yang ikut menjadi korban.
"Sebelum bencana, ibu-ibu ini punya usaha kecil untuk menopang keluarga. Sekarang? Peralatan rusak, stok dagangan hilang, dan modal pun tak ada," cerita seorang relawan. Proses pemulihan bagi mereka berjalan lambat, tersendat oleh keterbatasan yang nyaris menyeluruh. Bagi yang hidup dari penghasilan harian, berhenti berdagang berarti langsung menghentikan nadi kehidupan.
Artikel Terkait
Bali Justru Ramai Turis Asing, Meski Kunjungan Domestik Menyusut
IHSG Tutup Tahun 2025 dengan Catatan Merah, Sejumlah Sektor Bertahan Hijau
Harga Emas Antam Anjlok Rp95 Ribu per Gram di Akhir Tahun
Senandung di Tengah Reruntuhan: BRI Pulihkan Senyum Anak Korban Banjir Bandang Sumatra