Dan bukan berhenti di situ, angka itu diproyeksikan melesat lagi menjadi USD10 miliar pada tahun fiskal 2027/2028. Sebuah target yang ambisius, tapi bukan mustahil.
Sebelumnya, di bulan lalu, Rabie sudah memberikan gambaran. Pendapatan kanal pada 2025 ini diperkirakan menyentuh USD4,2 miliar, naik dari USD3,9 miliar di tahun 2024. Namun begitu, kita harus jujur melihat konteks yang lebih luas. Kedua angka itu masih jauh di bawah rekor gemilang USD10,2 miliar yang dicatat pada 2023. Penurunan tajam itu, ya, tak bisa dipisahkan dari ketegangan regional yang memanas, terutama krisis di Gaza.
Ada cerita panjang di balik pemulihan ini. Ingat saja, sejak Desember 2023, serangan-serangan oleh kelompok Houthi dari Yaman di perairan Teluk Aden dan Laut Merah membuat kalang kabut dunia pelayaran. Banyak perusahaan pelayaran besar memilih berjibaku mengubah rute, mengitari ujung selatan Afrika yang lebih jauh dan makan waktu, demi menghindari Terusan Suez. Situasi itu tentu saja memukul pendapatan kanal.
Tapi angin mulai berubah. Sejak gencatan senjata di Gaza berlaku pada Oktober lalu, Houthi menghentikan serangan terhadap kapal-kapal komersial. Dan efeknya langsung terasa. Kapal-kapal pun perlahan kembali melirik rute yang lebih efisien melalui Suez. Kanal tua itu kembali berdenyut, membawa harapan baru bagi perekonomian di sekitarnya.
Artikel Terkait
Final Kecil di Chiangmai: Indonesia U-22 Hadang Myanmar demi Harapan Tipis Lolos
Rp72 Miliar Dikucurkan untuk Pulihkan Aceh dan Sumatera Pasca-Banjir Bandang
23 Santri Al Mawaddah Sesak Napas Usai Bantu Padamkan Kobaran Api di Basement
Forza 125 Eropa 2026: Skuter Premium dengan Klaim 500 Km Per Tangki