Julukan Serambi Mekah punya akar sejarah yang dalam. Sambas adalah pusat penyebaran Islam di Kalimantan Barat. Di sinilah lahir ulama besar seperti Syaikh Ahmad Khotib Assambasi, yang pengaruhnya dikenal luas.
Tanahnya memang subur. Sawit, kopi, jagung, nanas, sampai hasil laut semuanya ada. Tapi ada yang mengejutkan. Menurut sejumlah pedagang, harga sayur di Pasar Sambas bisa lebih mahal dibanding harga di Pulau Jawa. Agak ironis, mengingat daerah ini sangat hijau.
Budaya nongkrong di warung kopi adalah hal lain yang menarik. Tempat ini bukan cuma untuk minum. Ini ruang sosial yang menyatukan generasi. Malam hari ramai anak muda. Pagi hari, terutama akhir pekan, berubah jadi tempat kumpul keluarga. Dari kakek-nenek sampai anak kecil, semua duduk bersama. Suasananya hangat dan hidup.
Oh ya, soal porsi makan. Jangan kaget. Porsi nasinya besar sekali. Kalau di Jawa satu mangkuk kecil cukup, di sini bisa setara dua mangkuk. Harganya? Nyaris sama.
Alamnya, sungguh memesona. Sekitar 39% wilayahnya adalah hutan. Pantainya bersih dan masih perawan. Seperti Pantai Sungai Belacan yang keasliannya benar-benar terjaga karena belum ramai dikunjungi.
Lalu ada Desa Temajuk, di ujung perbatasan dengan Malaysia. Perjalanan ke sana adalah salah satu yang paling indah yang pernah saya lakukan. Jalan aspal membelah hutan, langit biru jernih, bukit-bukit hijau, dan hujan rintik-rintik yang turun sesekali. Pemandangan pulang dari perbatasan itu susah dilupakan.
Tapi, di balik keindahan itu, ada cerita lain. Beberapa warga di Temajuk bilang, harga barang dan bahan makanan dari Malaysia justru lebih murah ketimbang produk lokal. Bahkan, transaksi barter antar warga perbatasan masih sering terjadi berdasarkan kesepakatan mereka sendiri.
Pengalaman paling berkesan mungkin saat mengunjungi Masjid Jami Keraton Sambas. Masjid tertua di Kalbar ini, yang nama lengkapnya Masjid Sultan Muhammad Syafi'oeddin II, bukan cuma bangunan tua. Dari arsitekturnya saja, kita langsung tahu ini adalah saksi bisu sejarah panjang Kesultanan Sambas.
Usai dari masjid, saya menyusuri Sungai Sambas. Airnya masih digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari. Beberapa rumah tradisional masih kokoh di tepian. Melihatnya, serasa menyaksikan sejarah yang masih hidup dan bernapas hingga detik ini.
Pada akhirnya, Sambas bagi saya bukan cuma sekumpulan julukan. Ia adalah perjumpaan. Tempat di mana budaya, alam, sejarah, dan manusia berpadu dalam sebuah narasi yang terus berdenyut.
Artikel Terkait
Sumatera Barat Kembali Terang, Fokus Beralih ke Aceh
LPS Siapkan Penjaminan Polis Rp700 Juta untuk Pulihkan Kepercayaan Publik
Korban Aceh Terpaksa Masak Nasi dengan Air Banjir
Pertamax dan Pertamina Dex Naik Lagi, Harga Pertalite Tetap Bertahan