Kebijakan Fiskal Jadi Penentu Nasib Produksi Migas Indonesia

- Kamis, 04 Desember 2025 | 16:40 WIB
Kebijakan Fiskal Jadi Penentu Nasib Produksi Migas Indonesia

Produksi minyak dan gas kita saat ini masih menggantungkan diri pada lapangan-lapangan tua. Mayoritas sudah memasuki fase mature, alias menua. Itulah salah satu alasan utama mengapa angka produksi migas nasional terus merosot dalam sepuluh tahun terakhir, dari 2014 hingga 2024.

Data dari lembaga riset ReforMiner menunjukkan gambaran yang cukup jelas. Rata-rata, produksi minyak turun 3,42 persen per tahun. Sementara itu, produksi gas juga tak luput dari tren negatif, dengan penurunan sekitar 1,72 persen per tahun. Kalau tidak ada langkah serius dari pemerintah, penurunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Industri hulu migas butuh dorongan, dan cepat.

Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, kuncinya ada pada kebijakan fiskal. "Perbaikan kebijakan fiskal akan menjadi faktor penentu utama dalam meningkatkan investasi hulu migas nasional," tegasnya.

Dia melanjutkan, regulasi di sektor ini, khususnya aspek fiskal, perlu disempurnakan. Tujuannya agar kembali selaras dengan konsep Production Sharing Contract (PSC) dan dilakukan secara menyeluruh, dari level praktis hingga hal-hal yang fundamental.

Komaidi menyampaikan hal itu dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Rabu malam lalu.

Lalu, bagaimana kondisi iklim investasi kita saat ini? Mengutip laporan IHS Markit, Komaidi memaparkan bahwa daya tarik investasi hulu migas Indonesia hanya berada di peringkat ke-9 dari 14 negara di kawasan Asia Pasifik. Posisi itu tidak mengherankan jika melihat rating pada dua indikator kunci: sistem fiskal dan aspek legal-kontraktual. Keduanya mendapat nilai rendah, masing-masing 5,11 dan 5,34.

Di sisi lain, indikator lain seperti risiko migas serta aktivitas dan kesuksesan, nilainya sedikit lebih baik, yakni 5,53 dan 6,03.

Menurut analisis Komaidi, masalah fiskal yang muncul ini berakar pada hilangnya prinsip fundamental dalam kerangka regulasi, yaitu assume and discharge. Pasalnya, UU Migas No. 22/2001 sebagai landasan hukum utama, tidak lagi menerapkan asas lex specialis tersebut.

"Melalui Pasal 31, UU Migas No.22/2001 menyebutkan bahwa perlakuan perpajakan di sektor hulu migas disesuaikan dengan ketentuan Undang–Undang Perpajakan yang berlaku," jelasnya.

Nah, untuk memperbaikinya, ada beberapa langkah praktis yang bisa segera diambil. Pertama, menyempurnakan kebijakan fiskal pada skema PSC Cost Recovery. Ini mencakup pengembalian prinsip assume & discharge untuk jaminan kepastian pajak tidak langsung. Kemudian, revisi peraturan pemerintah terkait dengan menyederhanakan proses pengajuan insentif pajak. Penegasan ketentuan fiskal untuk PBB, PPN, dan PPNBM juga perlu dibuat lebih konsisten dan otomatis.

Skema PSC Gross Split pun butuh penyempurnaan. Misalnya dengan memperluas pembebasan pajak tidak langsung hingga tahap eksploitasi, memberlakukan mekanisme pembebasan otomatis untuk PPN/PPNBM, serta pengurangan PBB 100 persen secara otomatis untuk semua tahap operasi.


Halaman:

Komentar