KUALA LUMPUR Suara kritik dari mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad memantik perdebatan sengit. Kali ini, sasarannya adalah Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (ART) yang dijalin Malaysia dengan Amerika Serikat. Mahathir bersikukuh bahwa perjanjian ini berisiko besar: menghapus atau setidaknya meminggirkan hak-hak istimewa kaum bumiputera, komunitas pribumi Melayu yang dilindungi. Tak hanya kritik, laporan polisi terhadap PM Anwar Ibrahim pun menyusul. Suasana jadi panas.
Pemerintah, tentu saja, tak tinggal diam. Bantahan keras dilayangkan. Tuduhan Mahathir itu dinilai sama sekali tidak berdasar, berasal dari penafsiran yang keliru terhadap isi perjanjian tebal itu. ART sendiri diteken oleh Anwar dan Presiden AS Donald Trump akhir Oktober 2025 lalu, di sela-sela KTT ASEAN. Tapi bagi Mahathir, proses penandatanganannya cacat hukum. Dia bilang, harusnya ada persetujuan dari Yang di-Pertuan Agong, Dewan Rakyat, Dewan Penguasa, plus eksekutif pemerintahan. Tanpa itu, keabsahannya diragukan.
Lebih dari sekadar soal prosedur, kekhawatiran Mahathir lebih substansial. Dia memperingatkan bahwa ART bisa menggerus habis hak istimewa bumiputera dalam dunia perdagangan dan kebijakan pemerintah. Isu yang selalu sensitif dan mudah menyulut emosi.
Merespons gelombang kritik itu, Menteri Investasi Perdagangan dan Industri, Tengku Zafrul Aziz, tampil ke depan. Dengan tegas dia menyatakan, klaim bahwa ART menghapus keistimewaan bumiputera adalah tidak benar. Sama sekali.
Artikel Terkait
Samsung Galaxy Z TriFold Siap Guncang Pasar dengan Layar Lipat Tiga
Uni Eropa Tutup Keran Gas Rusia untuk Selamanya pada 2027
Menginap di The Papandayan: Mewah Klasik dan Strategis di Hati Bandung
Harga Pangan Turun Merata, Cabai Rawit dan Ikan Laut Jadi Pengecualian