Dia bahkan menantang Mahathir untuk menunjukkan secara spesifik, pasal mana dalam dokumen itu yang disebut-sebut menyerahkan hak istimewa bumiputera kepada perusahaan AS. “Tunjukkan saja,” kira-kira begitu nada tantangannya.
Menurut Zafrul, ada salah tafsir yang terjadi, khususnya pada Pasal 6.2. Pasal itu, katanya, cuma mewajibkan perusahaan milik pemerintah untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan komersial yang sehat. Tujuannya transparansi, bukan untuk menyingkirkan kebijakan afirmatif yang pro-bumiputera. Poin itu, ditegaskannya berulang kali, tidak akan disentuh.
Di sisi lain, argumen Mahathir punya basisnya sendiri. Dia khawatir perjanjian akan memaksa Malaysia memberi perlakuan sama kepada produk AS, padahal selama ini ada perlindungan khusus untuk barang-barang bumiputera. Dalam dokumen setebal 400 halaman itu, dia menuding, banyak klausul berbahaya yang bisa menyerahkan kendali ekonomi nasional ke tangan Amerika.
Namun begitu, pemerintah bersikukuh pada pendiriannya. Tidak ada, tegas mereka, satu klausul pun baik langsung maupun tidak langsung yang menghapus hak-hak bumiputera. Kebijakan afirmatif untuk mereka tetap menjadi pilar utama perekonomian Malaysia. Polemik ini sepertinya belum akan reda dalam waktu dekat, memperlihatkan sekali lagi betapa kompleks dan hidupnya dinamika politik di negeri jiran.
Artikel Terkait
Lisa Mariana Tiba di Polda Jabar, Pemeriksaan Kasus Video Syur Dimulai
Spotify Wrapped 2025 Segera Hadir, Begini Cara Melihatnya
Polisi Amankan Distribusi BBM di Aceh Pascabencana
Ekonomi Indonesia 2026: BSI Proyeksi Pertumbuhan 5,28% Didorong Konsumsi dan Program Pemerintah