MURIANETWORK.COM - Bayang-bayang masa lalu Orde Baru kembali mengemuka jelang pelantikan pemerintahan baru.
Pengamat politik Ray Rangkuti secara tajam menyoroti potensi bangkitnya kembali budaya politik "Asal Bapak Senang" (ABS) di era kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan.
Menurut Ray, merapatnya hampir semua kekuatan politik ke barisan pemerintah menciptakan sebuah kekosongan pengawasan yang serius, membuka jalan bagi para "pembisik" di lingkaran kekuasaan untuk menyajikan laporan yang hanya menyenangkan presiden.
Fenomena ini, menurut Ray, sangat identik dengan kultur politik di era Orde Baru yang sentralistis dan minim kritik.
Tanpa adanya oposisi yang vokal dan kritis di parlemen, presiden berisiko terisolasi dari realitas pahit yang dihadapi rakyat.
"Jika tidak ada oposisi yang kuat, presiden bisa hanya menerima masukan yang bersifat 'Asal Bapak Senang' seperti yang dulu terjadi di era Orde Baru," ujar Ray Rangkuti dalam sebuah diskusi di podcast Forum Keadilan TV dikutip pada Senin (25/8/2025).
Kondisi ini menciptakan sebuah ironi demokrasi. Di satu sisi, pemerintah memiliki legitimasi kuat dari hasil pemilu.
Di sisi lain, absennya kekuatan penyeimbang membuat mekanisme check and balances menjadi mandul.
Akibatnya, setiap kebijakan yang diambil berpotensi jauh dari pengawasan publik dan rentan terhadap kesalahan fatal.
Ray Rangkuti memperingatkan, jika skenario ini terus berlanjut, maka setiap kegagalan yang terjadi di masa depan akan menjadi tanggung jawab penuh internal pemerintah.
Tidak akan ada lagi pihak yang bisa dijadikan "kambing hitam" atau dikritik karena lalai mengawasi.
"Jika pemerintah ini tidak berhasil, kegagalan itu murni kegagalan internal. Karena tidak ada lagi pihak yang mengawasi," tambahnya dengan nada tegas.
Lebih jauh, ia melihat gejala yang sudah mulai tampak saat ini, di mana pemerintah baru bergerak atau mengubah kebijakan setelah suatu isu menjadi viral dan menuai kecaman luas di media sosial.
Ini adalah sinyal bahwa kanal-kanal aspirasi formal seperti parlemen tidak lagi berfungsi efektif.
Presiden terpaksa turun tangan setelah "kebakaran" terjadi akibat tekanan publik digital.
"Proses ini sangat melelahkan karena harus menunggu reaksi publik terlebih dahulu," katanya.
Dalam situasi kebuntuan politik formal ini, Ray Rangkuti menaruh harapan besar pada kekuatan masyarakat sipil sebagai oposisi independen.
Dengan kekuatan teknologi dan media sosial, warga kini memiliki panggung untuk menyuarakan kritik, mengawal kebijakan, dan memastikan pemerintah tetap berada di jalur yang benar.
Kekuatan "netizen" dianggap menjadi benteng terakhir untuk mencegah Indonesia kembali terperosok ke dalam budaya politik ABS yang bisa merusak sendi-sendi demokrasi.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Ray Rangkuti Sindir Pansus Fufufafa, Isu Gibran Bisa Jadi Drama Politik Tak Berujung!
Demo 25 Agustus, Terkenang Perintah Tegas Gus Dur Bubarkan DPR
Prabowo Bagi-Bagi Bintang Jasa: Puan Maharani dan Dasco Gerindra Kebagian! Ada Apa?
Gugatan Pencemaran Nama Baik Jokowi Harus Tunggu Putusan Ijazah Palsu