Ia menegaskan, fungsi pengawasan DPR adalah representasi konstitusional rakyat. Persetujuan atas penunjukan Kapolri adalah bagian tak terpisahkan dari tugas itu. “Persetujuan penunjukan Kapolri merupakan bagian dari implementasi tugas DPR mengawasi pemerintahan,” pungkasnya.
Gagasan yang memicu polemik ini sendiri dilontarkan Da’i Bachtiar beberapa hari sebelumnya. Mantan Kapolri itu berpendapat penunjukan Kapolri adalah hak prerogatif presiden, dan sebaiknya tidak dibawa ke ranah politik DPR.
“Yang tadi disinggung adalah pemilihan Kapolri itu kan presiden toh, hak prerogatifnya presiden,” kata Da’i pada Rabu (10/12/2025).
“Tetapi, presiden harus mengirimkan ke DPR untuk minta persetujuan. Nah, ini juga jadi pertanyaan. Apakah masih perlu aturan itu.”
Di tempat terpisah, tampaknya ada sinyal yang agak berbeda. Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, mengindikasikan kemungkinan perubahan ke arah yang diusulkan Da’i.
“Saya rasa salah satu yang saudara tanya itu kemungkinan, walaupun belum kami buat keputusan resmi,” kata Jimly di Gedung Kemensetneg, Rabu lalu.
“Tapi kira-kira ada kemungkinan ke arah itu.”
Jadi, meski ditolak keras oleh Komisi III, wacana ini tampaknya belum benar-benar tamat. Perdebatan antara menjaga mandat reformasi dan menyederhanakan proses politik masih akan terus bergulir.
Artikel Terkait
Said Didu Beri Sinyal Bahaya: Kudeta Sunyi Mengintai Istana?
Prabowo Geram, Larang Pejabat Wisata Bencana
Banjir Bandang Sumatera: Penegakan Hukum atau Pencarian Kambing Hitam?
Aturan Baru Kapolri Buka Pintu Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Disorot Langgar Putusan MK