TKA 2025: Masalah, Kritik, dan Solusi untuk Atasi Kelelahan Siswa & Ketimpangan

- Minggu, 02 November 2025 | 10:45 WIB
TKA 2025: Masalah, Kritik, dan Solusi untuk Atasi Kelelahan Siswa & Ketimpangan

Muncul pertanyaan logis: bagaimana jika nilai TKA tidak sejalan dengan nilai rapor? Apakah rapor yang disusun melalui proses panjang guru dianggap tidak sahih hanya karena hasil satu kali tes? Rapor mencakup seluruh mata pelajaran dan aspek sikap, sedangkan TKA hanya menguji beberapa bidang akademik. Menggunakan TKA semata untuk "memvalidasi" rapor dinilai tidak proporsional. Solusi yang lebih tepat adalah memperkuat kompetensi guru dalam melakukan asesmen yang adil dan autentik, bukan menambah tes baru.

Jalan Tengah: Menuju Demokratisasi Asesmen

Alih-alih menjadi alat validator yang kaku, TKA seharusnya dikembangkan dengan prinsip demokratisasi asesmen. Berikut beberapa opsi kebijakan sebagai jalan tengah:

Memperkuat Literasi Penilaian Guru

TKA dan asesmen lain seharusnya saling melengkapi, bukan saling menegasikan. Jika penilaian oleh guru di sekolah dinilai belum optimal, solusinya adalah memperkuat literasi penilaian guru melalui pelatihan pengembangan profesionalisme yang berkelanjutan. Penilaian hasil belajar tidak hanya pengetahuan melalui tes, tetapi juga portofolio, refleksi diri, proyek, dan observasi. Penilaian proses ini dapat menjadi pertimbangan dalam seleksi masuk PTN.

Membuat TKA yang Sukarela, Fleksibel, dan Relevan

TKA harus benar-benar bersifat sukarela dan fleksibel. Siswa seharusnya dapat memilih waktu ujian sesuai kebutuhan tanpa target jumlah peserta. Kolaborasi dengan perguruan tinggi sebagai penyelenggara dapat memungkinkan TKA diselenggarakan dengan variasi bidang keilmuan (sains, sosial, humaniora) yang relevan dengan jurusan tujuan.

Mengutamakan Higher Order Thinking Skills (HOTS)

Format TKA sebaiknya menilai kemampuan berpikir kritis dan penalaran tingkat tinggi (HOTS), tidak terpaku pada muatan kurikulum. Kisi-kisi soal dapat diselaraskan dengan model asesmen internasional seperti PISA agar relevan dengan tantangan global. Dengan demikian, TKA tidak hanya menjadi alat seleksi, tetapi juga sarana pembelajaran nasional untuk meningkatkan literasi dan numerasi.

Menyediakan Sumber Belajar Terbuka

Kemendikdasmen perlu menyediakan sumber belajar terbuka berupa tutorial dan latihan soal berkualitas agar semua siswa memiliki kesempatan yang sama mempersiapkan diri. Program seperti pembagian smart screen dapat menjadi bagian dari diseminasi materi, sehingga tidak hanya sekolah elit yang mampu memberikan bimbingan intensif.

Pada akhirnya, yang lebih mendesak bukan sekadar menciptakan tes baru, tetapi memastikan sistem asesmen kita adil, inklusif, dan berpihak pada keragaman potensi peserta didik. Tanpa prinsip ini, TKA berisiko mengulang sejarah Ujian Nasional—berniat memperbaiki kualitas, tetapi justru mempertegas ketimpangan yang telah lama ada.

Waliyadin. Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mahasiswa PhD di University of Canberra, Australia.


Halaman:

Komentar